Jumat, 23 Oktober 2009

PERNYATAAN SIKAP LEMBAGA PARTISIPASI PEREMPUAN (LP2) DALAM KASUS PERLINDUNGAN ANAK & PEREMPUAN

Tanggal: 27 Nov 2008
Sumber: LEMBAGA PARTISIPASI PEREMPUAN (LP2)

Prakarsa Rakyat, PROSES HUKUM HARUS
TETAP DIJALANKAN SEBAGAI EFEK JERA


Setiap tanggal 25 November, dunia memperingati Hari Anti Kekerasan terhadap
Perempuan. Tanggal tersebut akan terus diperingati mengingat kekerasan berbasis
gender masih terus terjadi di seluruh dunia, termasuk Indonesia, dan sebagian
besar menimpa perempuan dan anak. Pada momentum hari peringatan internasional ini,
kami juga tidak habis-habisnya ingin mengingatkan kembali semua pihak agar mulai
saat ini, hukum yang melindungi perempuan dan anak benar-benar ditegakkan, semata-mata demi masa depan mereka. Disadari pula bahwa faktor tradisi dan agama yang masih
memposisikan perempuan sebagai kelas dua, memang umumnya jadi tantangan
penegakan hukum di manapun. Namun, kita juga sadar bahwa kita harus terus
mengupayakan jaminan hak-hak perempuan dan anak tetap terlindungi.
Pada momentum ini, sebagai organisasi yang aktif melakukan advokasi tentang
perlindungan perempuan dan anak, kami berharap agar kasus seperti yang dialami
oleh Lutviana Ulfa (12 tahun) yang dikawini oleh Syekh Pujiono tidak akan
pernah lagi dialami oleh anak perempuan Indonesia. Meski proses perdamaian
telah dilakukan, kami tetap mendorong aparat penegak hukum untuk tetap
melakukan proses penyidikan dan menyeret pelaku ke pengadilan. Karena hal
tersebut menjadi sangat penting sebagai proses pembelajaran masyarakat dan
menimbulkan efek jera.. Kecuali jika kita semua memang menginginkan bahwa undang-undang
yang sudah ada hanyalah menjelma jadi macan kertas.
Indonesia sebenarnya telah memiliki berbagai produk Undang-undang yang
melindungi anak perempuan dari praktek-praktek yang diskriminatif dan
menyengsarakan masa depannya. Dalam kasus perkawinan Lutviana Ulfa & Syekh
Pujiono jelas telah terjadi pelanggaran berat atas produk-produk hukum berikut
ini:
1. Pasal 7 ayat 1 dalam UU Perkawinan No. 1 tahun 1974yang menyebutkan bahwa "Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun."
2. Pasal 10 dalam UU No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. Pasal tersebut antara lain mewajibkan negara-negara peserta untuk membuat peraturan yang tepat khususnya guna menjamin persamaan hak antara pria dan wanita di berbagai bidang misalnya dalamPasal 10 poin f: "Pengurangan angka putus sekolah pelajar puteri dan penyelenggaraan program untuk gadis-gadis dan wanita yang sebelum waktunya meninggalkan sekolah"
Juga
dalam Pasal 16 ayat 2 yang berbunyi:
"Pertunangan dan perkawinan seorang anak tidak akan mempunyai akibat hukum dan
semua tindakan yang perlu, termasuk perundang-undangan, wajib diambil untuk
menetapkan usia minimum untuk kawin dan untuk mewajibkan pendaftaran perkawinan
di Kantor Catatan Sipil yang resmi."
Perbuatan menikah memang tidak berimplikasi hukum pada anak-anak, namun para orang dewasa yang terlibat harus menerima konsekuensi hukumnya dan mengikuti prosedur hukum perkawinan yang benar yakni mencatatkannya dalam lembar negara yang sah.
1. Pasal 1 ayat 1 dalam UU No. 23 tahun 1992 tentang Perlindungan Anakyang menerangkan bahwa: "Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun), termasuk anak yang masih dalam kandungan."
Pasal 13dalam UU ini juga menjelaskan bahwa: "Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a. Diskriminasi
b. Eksploitasi baik
ekonomi maupun seksual
c. Penelantaran
d. Kekejaman,
kekerasan, dan penganiayaan
e. Ketidakadilan; dan
f. Perlakuan salah lainnya
(1) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh
anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.
Juga dalam Pasal 88 UU Perlindungan Anak yang berbunyi: "Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp.200 juta."
1. Pasal 49 UU No. 39 tahun 1999 tentang Ratifikasi Hak Asasi Manusia, disebutkan bahwa:
(2) Hak khusus yang melekat pada diri wanita
dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum.
Bagaimana pasal ini dapat
dijalankan jika anak-anak perempuan harus menikah di usia yang masih rentan (Yayasan
Kesehatan Perempuan menyebutkan bahwa rahim perempuan baru benar-benar siap
bereproduksi pada usia 20 tahun, jika tidak maka akan terjadi rawan gangguan
kehamilan, kematian saat melahirkan, kanker, tumor, dan penyakit lainnya).
Pasal lain dalam UU HAM ini juga mengatur hak anak,
antara lain Pasal 60 yang
menyebutkan:
(1) Setiap
anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya.
Dan dalam Pasal 61 dijelaskan pula bahwa: "Setiap anak
berhak untuk beristirahat, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain,
berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya
demi pengembangan dirinya".
Dan terakhir adalah ada pada Pasal 65 yang menyebutkan agar: "Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta berbagai bentuk penyalahgunaan narkotik, peikotropika dan zat adiktif lainnya."
1. Pasal 12 UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orangyang menyebutkan bahwa: "Setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya …dst, dipidana penjara paling lama 15 tahun dan denda sesuai pasal 2,3,4,5,6" (paling besar Rp 600 juta)
Dalam pasal 17 UU PTPPO ini juga disebutkan bahwa "Jika
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, 3,4, dilakukan terhadap anak,
maka ancaman pidananya ditambah 1/3".
1. Pasal 6 UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)yang mencanangkan program wajib belajar 9 tahun. Pasal 6 tersebut berbunyi:
(1) Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
(2) Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap kelangsungan penyelenggaraan pendidikan. Bagaimana program ini akan berjalan jika anak-anak dicerabut dari ruang belajarnya, kehilangan hak untuk mendapatkan pendidikan dan kehilangan masa remajanya karena harus bereproduksi, mengasuh anak, sibuk melayani suami dan melakukan tugas-tugas rumah tangga lainnya).

Kami juga mengusulkan
agar di berbagai daerah dibuat Perda anti Praktek Pedofilia. Karena praktek
menyetubuhi anak-anak ini, apapun kedoknya, sudah sedemikian mengkhawatirkan,
mengancam hidup anak-anak Indonesia,
membuat korban menjadi trauma dan berpotensi mengakibatkan anak Indonesia
kehilangan masa depannya.
Di samping itu negara
harus melarang seluruh masyarakat untuk melakukan praktek kawin bawah tangan/kawin
siri sebab praktek kawin bawah tangan pada akhirnya hanya berujung pada
penelantaran dan umumnya pihak perempuanlah yang paling dirugikan. Praktek
kawin siri juga merupakan tindakan ilegal sebab tidak tercantum dalam catatan
sipil, karenanya jika terjadi masalah, pihak perempuan berada pada posisi
sangat rentan dan tidak dapat menuntut apa-apa. Status anakpun akan menjadi
persoalan di kemudian hari.
Mengingat berbagai
persoalan yang masih membelit perempuan dan anak Indonesia, pada Momentum
Internasional Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan ini, kami ingin mengulang
kembali untuk dilakukannya berbagai upaya yang penting dan sesuai dengan mandat
UU No. 7 tahun 1984 dalam Pasal 2 poin f yang mewajibkan negara "Membuat peraturan-peraturan yang tepat, termasuk
pembuatan UU, untuk mengubah dan menghapus UU, peraturan-peraturan
kebiasaan-kebiasaan , dan praktek-praktek yang diskriminatif terhadap wanita." Ini
sangatlah penting, sebab seperti yang telah disebutkan dalam salah satu
terminologi kekerasan berbasis gender yang mana meski dengan adanya persetujuan
dan dalam kondisi bebas memilih, namun perlu diteliti apakah ia dalam kondisi
sadar akan dampak yang mungkin terjadi, maka hal tersebut telah dapat
dikategorikan sebagai kekerasan berbasis gender..
Selamat Hari Anti
Kekerasan terhadap Perempuan, dan selamatkan hidup perempuan dan anak Indonesia
dari praktek yang diskriminatif dan kekerasan berbasis gender.

Lembaga Partisipasi
Perempuan (LP2)
Contact
Person:Adriana Venny (Badan Pembina) 0856-1090619, Yoke
Sri Astuti (Ketua Badan Pengurus) 021-91049104, Henny Irawati (Manajer
Advokasi) 0812-13563182






























Perlindungan Korban KDRT


KEKERASAN dalam rumah tangga (KDRT) yang dulu dianggap mitos dan persoalan pribadi (private), kini menjadi fakta
dan relita dalam kehidupan rumah tangga. Dengan berlakunya Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) maka persoalan KDRT ini menjadi domain publik.

Sebagian besar korban KDRT adalah kaum perempuan (baca: istri) dan pelakunya adalah suami, walaupun ada juga
korban justru sebaliknya, atau orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah tangga itu. Pelaku atau korban KDRT
adalah orang yang mempunyai hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian dengan suami, dan
anak bahkan pembatu rumah tangga, tinggal di rumah ini. Ironisnya kasus KDRT sering ditutup-tutupi oleh si korban
karena terpaut dengan struktur budaya, agama dan sistem hukum yang belum dipahami. Padahal perlindungan oleh
negara dan masyarakat bertujuan untuk memberi rasa aman terhadap korban serta menindak pelakunya.

UU PKDRT secara substanstif memperluas institusi dan lembaga pemberi perlindungan agar mudah diakses oleh
korban KDRT, yaitu pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya, baik
perlindungan sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan. Di sini terlihat, bahwa institusi dan lembaga
pemberi perlindungan itu tidak terbatas hanya lembaga penegak hukum, tetapi termasuk juga lembaga sosial bahkan
disebutkan pihak lainnya.

Peran pihak lainnya lebih bersifat individual. Peran itu diperlukan karena luasnya ruang dan gerak tindak KDRT, sementara
institusi dan lembaga resmi yang menangani perlindungan korban KDRT sangatlah terbatas. Pihak lainnya itu adalah
setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya tindak KDRT. Mereka diwajibkan mengupayakan
pencegahan, perlindungan, pertolongan darurat serta membantu pengajuan permohonan penetapan perlindungan baik
langsung maupun melalui institusi dan lembaga resmi yang ada.

Dilihat dari stelsel hukum pidana, tindak KDRT ini adalah tindak kekerasan sebagaimana diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yakni tindak pidana penganiayaan, kesusilaan, serta penelantaran orang yang
perlu diberi nafkah dan kehidupan. Lalu mengapa masih diperlukan UU PKDRT?

Memang, tindak kekerasan yang diatur dalam PKDRT ini mempunyai sifat khas/spesifik, misalnya peristiwa itu terjadi di
dalam rumah tangga, korban dan pelakunya terikat hubungan kekerasan atau hubungan hukum tertentu lainnya, serta
berpotensi dilakukan secara berulang (pengulangan) dengan penyebab (causa) yang lebih kompleks dari tindak
kekerasan pada umumnya. Itu sebabnya, tindak kekerasan ini lebih merupakan persoalan sosial yang tidak hanya dilihat
dari perspektif hukum. Penyelesaiannya harus dilakukan secara komprehensif, melalui proses sosial, hukum, psikologi,
kesehatan, dan agama, dengan melibatkan berbagai disiplin, lintas institusi dan lembaga.

Bagaimanakah bentuk dan cara perlindungan itu, serta bagaimanakah hubungan masing-masing institusi dan lembaga
pemberi perlindungan itu secara konkret dan faktual di lapangan? Itulah pokok persoalan yang perlu dibahas lebih lanjut.
Yang lebih penting lagi adalah bagaimana persoalan itu dipahami oleh masyarakat luas sehingga cita-cita yang hendak
dicapai oleh legislator yang terkandung dalam UU PKDRT dapat terwujud sesuai harapan.

Bentuk perlindungan

Korban KDRT atau bahkan lembaga pemberi perlindungan itu sendiri belum tentu memahami bagaimana perlindungan
itu didapatkan dan bagaimana diberikan. Bagi korban yang status soseknya lebih tinggi atau institusi dan lembaga yang
tugas dan fungsinya selaku penegak hukum, tentu persoalan mendapatkan dan atau memberikan perlindungan itu
bukanlah masalah. Tetapi bagi institusi dan lembaga di luar itu, perlu mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang
cukup serta akreditasi selaku institusi dan lembaga pemberi perlindungan terhadap korban KDRT.

UU PKDRT secara selektif membedakan fungsi perlindungan dengan fungsi pelayanan. Artinya tidak semua institusi dan
lembaga itu dapat memberikan perlindungan apalagi melakukan tindakan hukum dalam rangka pemberian sanksi
kepada pelaku. Perlindungan oleh institusi dan lembaga non-penegak hukum lebih bersifat pemberian pelayanan
konsultasi, mediasi, pendampingan dan rehabilitasi. Artinya tidak sampai kepada litigasi. Tetapi walaupun demikian,
peran masing-masing institusi dan lembaga itu sangatlah penting dalam upaya mencegah dan menghapus tindak KDRT.

Selain itu, UU PKDRT juga membagi perlindungan itu menjadi perlindungan yang bersifat sementara dan perlindungan
dengan penetapan pengadilan serta pelayanan. Perlindungan dan pelayanan diberikan oleh institusi dan lembaga sesuai
tugas dan fungsinya masing-masing:

1. Perlindungan oleh kepolisian berupa perlindungan sementara yang diberikan paling lama 7 (tujuh) hari, dan dalam
waktu 1 X 24 jam sejak memberikan perlindungan, kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari
pengadilan. Perlindungan sementara oleh kepolisian ini dapat dilakukan bekerja sama dengan tenaga kesehatan, sosial,
relawan pendamping dan pembimbing rohani untuk mendampingi korban. Pelayanan terhadap korban KDRT ini harus
menggunakan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian dengan sistem dan mekanisme kerja sama program
pelayanan yang mudah diakses oleh korban.

Pemerintah dan masyarakat perlu segera membangun rumah aman (shelter) untuk menampung, melayani dan
mengisolasi korban dari pelaku KDRT. Sejalan dengan itu, kepolisian sesuai tugas dan kewenangannya dapat
melakukan penyelidikan, penangkapan dan penahanan dengan bukti permulaan yang cukup dan disertai dengan perintah
penahanan terhadap pelaku KDRT. Bahkan kepolisian dapat melakukan penangkapan dan penahanan tanpa surat
perintah terhadap pelanggaran perintah perlindungan, artinya surat penangkapan dan penahanan itu dapat diberikan
setelah 1 X 24 jam.

2. Perlindungan oleh advokat diberikan dalam bentuk konsultasi hukum, melakukan mediasi dan negosiasi di antara
pihak termasuk keluarga korban dan keluarga pelaku (mediasi), dan mendampingi korban di tingkat penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan (litigasi), melakukan koordinasi dengan sesama penegak
hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial (kerja sama dan kemitraan).

3. Perlindungan dengan penetapan pengadilan dikeluarkan dalam bentuk perintah perlindungan yang diberikan selama 1
(satu) tahun dan dapat diperpanjang. Pengadilan dapat melakukan penahanan dengan surat perintah penahanan
terhadap pelaku KDRT selama 30 (tiga puluh) hari apabila pelaku tersebut melakukan pelanggaran atas pernyataan yang
ditandatanganinya mengenai kesanggupan untuk memenuhi perintah perlindungan dari pengadilan. Pengadilan juga
dapat memberikan perlindungan tambahan atas pertimbangan bahaya yang mungkin timbul terhadap korban.

4. Pelayanan tenaga kesehatan penting sekali artinya terutama dalam upaya pemberian sanksi terhadap pelaku KDRT.
Tenaga kesehatan sesuai profesinya wajib memberikan laporan tertulis hasil pemeriksaan medis dan membuat visum et
repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau membuat surat keterangan medis lainnya yang mempunyai kekuatan
hukum sebagai alat bukti. 5. Pelayanan pekerja sosial diberikan dalam bentuk konseling untuk menguatkan dan memberi
rasa aman bagi korban, memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan, serta
mengantarkan koordinasi dengan institusi dan lembaga terkait.

6. Pelayanan relawan pendamping diberikan kepada korban mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan seorang atau
beberapa relawan pendamping, mendampingi korban memaparkan secara objektif tindak KDRT yang dialaminya pada
tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan, mendengarkan dan memberikan penguatan secara
psikologis dan fisik kepada korban.

7. Pelayanan oleh pembimbing rohani diberikan untuk memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban dan
memberikan penguatan iman dan takwa kepada korban.

Bentuk perlindungan dan pelayanan ini masih besifat normatif, belum implementatif dan teknis oparasional yang mudah
dipahami, mampu dijalankan dan diakses oleh korban KDRT. Adalah tugas pemerintah untuk merumuskan kembali pola
dan strategi pelaksanaan perlindungan dan pelayanan dan mensosialisasikan kebijakan itu di lapangan. Tanpa upaya
sungguh-sungguh dari pemerintah dan semua pihak, maka akan sangat sulit dan mustahil dapat mencegah apalagi
menghapus tindak KDRT di muka bumi Indonesia ini, karena berbagai faktor pemicu terjadinya KDRT di negeri ini amatlah
subur.

Bahwa anggapan orang terjadinya KDRT merupakan akibat dari suatu sebab konvensional seperti disharmonisasi dari
tekanan sosial ekonomi yang rendah, perangai dan tabiat pelaku yang kasar, serta gagal dalam karier dan pekerjaan
ternyata tidaklah sepenuhnya benar, karena KDRT justru acapkali dilakukan oleh mereka yang kondisi sosial ekonominya
baik, sukses karier dan pekerjaannya, bahkan berpendidikan tinggi.

KDRT merupakan multi persoalan, termasuk persoalan sosial, ekonomi, budaya, hukum, agama dan hak asasi manusia.
Upaya menghapus KDRT di muka bumi Indonesia adalah perjuangan panjang bangsa ini, khususnya kaum perempuan
yang rentan menjadi korban KDRT. Upaya sungguh-sungguh itu diharapkan dapat mempengaruhi struktur dan
karakteristik multi persoalan tadi menjadi nilai yang diyakini benar dan dapat memberi rasa aman, tenteram, adil dan
bermartabat bagi keluarga dan bangsa Indonesia.***


Ketutlatri@ymail.com ( P2TP2A Kabupaten Klungkung )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar