Sabtu, 24 Oktober 2009

No. : 07 / WSA /PDT/2009 Semarapura,……Februari 2009
Lamp. : 1(satu) helai Surat Kuasa Khusus
Hal. : Gugatan Perceraian Kepada Yth.
Ibu Ketua
Pengadilan Negeri Gianyar
di-
Gianyar


Dengan hormat,

Yang bertandatangan dibawah ini :
NI KETUT LATRI,SH.SE Advokat yang berkantor di Jalan Raya Besakih No.200 X,Akah ,Klungkung, Telp./Fax (0366) 21823, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal …….. Februari 2009 (terlampir) yang telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Gianyar, tanggal …….Februari 2009, Reg. Nomor …../2009, sehingga dalam hal ini sah bertindak untuk dan atas nama :----------------------------------
WAYAN……………………,Laki-laki,umur : …….tahun, agama : Hindu, pekerjaan :wiraswasta, beralamat di Jalan ……………………………Pedungan Denpasar,Bali. Yang untuk selanjutnya disebut sebagai : pihak :----------------------PENGGUGAT--------------------------------

Dengan ini hendak mengajukan gugatan tentang Putusnya Perkawinan Karena Perceraian Dengan segala Akibat Hukumnya, terhadap :---------------------------
NI KOMANG AYU………….., perempuan ,umur :…….tahun, pekerjaan : pegawai swasta, Alamat : .Banjar…………………………..Desa …………………….,Gianyar Bali., untuk selanjutnya disebut sebagai Pihak --------------------------------TERGUGAT--------------------------------------

Adapun duduknya persoalan adalah sebaai berikut :--------------------------------

1. Bahwa Penggugat dan Tergugat telah melangsungkan perkawinan sah secara adat Bali/Hindu pada tanggal …………………1998 di Dusun……………….Desa………………………..Kecamatan ………………..Kabupaten Karangasem, yang telah dipuput oleh rohaniawan Hindu, Ida Pedanda ………………,dan telah pula dicatatkan pada Kantor Dinas Catatan Sipil Kabupaten Karangasem, tertanggal ……………bulan …………. Tahun ……………, sesuai dengan Kutipan Akte Perkawnan Nomor : ……………………..
2. Bahwa dari perkawinan Penggugat dengan Tergugat telah lahir 1 (satu) orang anak laki-laki, di Denpasar tanggal ………………,yangdiberi nama :……… …....
……………..(sesuai kutipan Akte Kelahiran Nomor :……………………….dari Kantor Dinas Catatan Sipil Kabupaten Karangasem .
3. Bahwa semula perkawinan tersebut sangatlah rukun dan berbahagia, akan tetapi semenjak lahirnya anak Penggugat dan Tergugat yang bernama ……………………, mulailah prahara rumah tangga itu terjadi, dimana sering kali terjadi percekcokan dan pertengkaran, dan Penggugat berusaha untuk mengalah dan menerima keadaan tersebut.
4. Bahwa Penggugat semula bekerja sebagai karyawan swasta di Perusahaan Cargo, namun akhirnya berhenti karena ada ketidakcocokan penghasilan,sehingga otomatis penghasilan rumah tangga hanya dibiayai oleh Tergugat ,namun Penggugat sudah berusaha mencari pekerjaan yang cocok,sehingga dalam penantian tersebut Tergugat akhirnya menjual tanah yang dibeli secara bersama seluas 3 (tiga) are di Kabupaten Karangasem untuk dipakai modal berusaha, dan Penggugat mengambil pekerjaan apa saja yang penting ada pemasukan, seperti sekarang Tergugat berprofesi sebagai supir Angkutan Kota.
5. Bahwa, oleh karena Penggugat sebagai supir maka Penggugat lebih sering berada di Luar rumah serta waktu dan penghasilannya juga tidak tentu sehinga tergugat sering curiga kepada Penggugat.
6. Bahwa setiap orang tidak penah menginginkan hal yang terburuk akan terjadi,terutama dalam masalah ekonomi,, namun itulah kenyatan yang harus dihadapi, sehingga Tergugat semestinya bisa mengerti akan hal tersebut ,dan tidak menaruh rasa curiga yang berlebihan serta melontarkan kata-kata yang tidak enak didengar,seolah-olah Penggugat tidak bertanggungjawab kepada keluarga yang pada akhirnya menyebabkan pertengkaran dan percekcokan sering terjadi.
7. Bahwa yang menjadi faktor penyebab terjadinya pertengkaran ini karena,baik Pengugat maupun Tergugat sudah tidak ada kecocokan lagi dalam membina rumah tangga yang seutuhnya, sehingga pada tahun 2000 Penggugat dan Tergugat Pisah ranjang, walaupun masih dalam satu rumah.
8. Bahwa konflik/kemelut rumah tangga tersebut diatas seringkali terjadi, sehingga membuat kehidupan rumah tangga Penggugat dan Tergugat tidak pernah tentram/ rukun, dan puncak percekcokan/pertengkaran Penggugat dengan Tergugat yaitu tahun 2003, dimana Penggugat mempunyai teman dekat yang sesuai dan dapat melayani Pengugat, namun diketahui oleh Tergugat sehingga membuat pertengkara kembali terjadi, sehingga menyebabkan antara Penggugat dan Tergugat Pisah Ranjang dan Pisah Rumah .
9. Bahwa walaupun Penggugat dan Tergugat telah pisah ranjang dan pisah rumah namun Penggugat berusaha tetap berhubungan baik dengan Tergugat namun tetap saja sia-sia .
10. Bahwa oleh karena permasalahan ini tidak bias diselesaikan secara kekeluargaan, dan untuk rukun kembali sudah tidak mungkin maka Penggugat mengajukan gugatan ini kehadapan Bapak Ketua Pengadilan Negeri Gianyar.
11. Bahwa berdasarkan alasan-alasan dan pertimbangan yang terurai secara rinci diatas, jelaslah bahwa alasan hukum Penggugat untuk mengajukan tuntutan tentang Putusnya Perkawinan karena Perceraian ini telah memenuhi/mencakup alasan yuridis tentang terjadinya perceraian sebagaimana dimaksud dalam penjeasan Pasal 39 ayat (2) huruf (b,f) Undang-Undang Perkawinan Nio.1 tahun 1974 juncto Pasal 19 huruf (b,f) P.P. No.9 Tahun 1975.
12. Bahwa demi kepentingan anak yang masih dibawah umur, dan kelangsungan pendidikan si anak serta mengingat pula perkembangan kejiwaan dan masa depan anak tersebut, sampai dewasa menurut Undang-Undang, maka sudah sepatutnya Penggugatlah yang mengasuh anak Penggugat dan Tergugat yang bernama :
…………………………………………..,laki-laki,umur ……tahun, siswa SD Kelas V di Denpasar bertempat tinggal di Denpasar bersama Penggugat .
Hal ini didasarkan atas pertimbangan : bahwa menurut Hukum Adat Bali, seorang anak laki-laki akan mengikuti garis kepurusa dari ayahnya, sehingga sedari awal Penggugat telah memperkenalkan kepada anak tersebut tentang Hak dan Kewajibannya dilingkungan keluarga Penggugat di Kabupaten Karangasem.

Maka atas dasar uraian tersebut diatas, dengan segala kerendahan hati sudilah kiranya Ibu Ketua Pengadilan Negeri Gianyar berkenan untuk memanggil serta memeriksa perkara ini dan menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi sebagai berikut :

PRIMAIR

1. Menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya.
2. Menyatakan sah perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat yang telah dilangsungkan di Dusun /Banjar ……………………………..Desa………………..,Kecamatan ………………Kabupaten Karangasem yang dipuput oleh Ida Pedanda ………………dan telah pula didaftarkan di Kantor Dinas Catatan Sipil Kabupaten Karangasem sesuai dengan Kutipan Akta Perkawinan No…………………..,tanggal……………………..
3. Menyatakan hukum bahwa perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat sah putus karena perceraian dengan segala akibat hukumnya.
4. Memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Negeri Gianyar untuk mengirimkan satu helai Putusan Pengadilan ini kepada Kantor Dinas Catatan Sipil Kabupaten Karangasem, untuk melakukan pendaftaran putusan ini dan Akte Perceraian dari perkawinan Penggugat dengan Tergugat tersebut diatas .
5. Menetapkan Penggugat sebagai orang tua asuh dari seorang anak laki-laki yang bernama :……………………………….lahir di ………………..tanggal …………… sesuai dengan kutipan Akte Kelahiran Nomor……………………….. dari Kantor Catatan Sipil Kabupaten ……………..
6. Menghukum Tergugat untuk membayar ongkos perkara ini.




SUBSIDAIR
Dalam peradilan yang baik Penggugat mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Demikian gugatan ini kami ajukan kehadapan Ibu Ketua Pengadilan Negeri Gianyar, atas perhatian dan perkenannya kami ucapkan terimakasih.

Hormat kami
Kuasa Hukum Penggugat.


NI KETUT LATRI,SH.SE
Sekilas tentang Rancangan Peraturan Perundang-undangan

I. RANPERDA

Rancangan peraturan daerah dapat berasal dari dewan perwakilan rakyat daerah atau gubernur, atau bupati/walikota, masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, atau kota. Rancangan peraturan daerah yang telah disiapkan oleh gubernur atau bupati/walikota kemudian disampaikan dengan surat pengantar gubernur atau bupati/walikota kepada dewan perwakilan rakyat daerah oleh gubernur atau bupati/walikota. Rancangan peraturan daerah yang telah disiapkan oleh dewan perwakilan rakyat daerah disampaikan oleh pimpinan dewan perwakilan rakyat daerah kepada gubernur atau bupati/walikota.
Perda merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Dan dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Jenis Produk Hukum Daerah terdiri atas :
a. Peraturan Daerah;
b. Peraturan Kepala Daerah;
c. Peraturan Bersama Kepala Daerah;
d. Keputusan Kepala Daerah; dan
e. Instruksi Kepala Daerah.
II. TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang berdasarkan Prolegnas, Pemrakarsa membentuk Panitia Antardepartemen. Keanggotaan Panitia Antardepartemen terdiri atas unsur departemen dan lembaga pemerintah nondepartemen yang terkait dengan substansi Rancangan Undang-Undang. Panitia Antardepartemen dipimpin oleh seorang ketua yang ditunjuk oleh Pemrakarsa.Panitia Antardepartemen penyusunan Rancangan Undang-Undang dibentuk setelah Prolegnas ditetapkan Dewan Perwakilan Rakyat. Penyusunan Rancangan Undang-Undang yang didasarkan Prolegnas tidak memerlukan persetujuan izin prakarsa dari Presiden.
Dalam keadaan tertentu, Pemrakarsa dapat menyusun Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas setelah terlebih dahulu mengajukan permohonan izin prakarsa kepada Presiden. Dalam rangka penyusunan konsepsi Rancangan Undang-Undang di luarProlegnas, Pemrakarsa wajib mengkonsultasikan konsepsi tersebut kepada Menteri dalam rangka pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang. Kemudian Menteri mengkoordinasikan pembahasan konsepsi tersebut dengan pejabat yang bewenang mengambil keputusan, ahli hukum, dan/atau perancang peraturan perundang-undangan dari lembaga Pemrakarsa dan lembaga terkait lainnya. Apabila dipandang perlu, koordinasi dapat pula melibatkan perguruari tinggi dan atau organisasi.
Yang dimaksud dengan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan disini adalah teknik atau susunan dalam membuat sebuah peraturan perundang-undangan. hal ini dijelaskan dalam lampiran UU No. 10 Tahun 2004. Secara garis besar susunan dari sebuah peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut :
A. JUDUL
B. PEMBUKAAN

1. Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan
3. Konsiderans
4. Dasar, Hukum
5. Diktum
C. BATANG TUBUH
1. Ketentuan Umum
2. Materi Pokok yang Diatur
3. Ketentuan Pidana (Jika diperlukan)
4. Ketentuan Peralihan (Jika diperlukan)
5. Ketentuan Penutup
D. PENUTUP
E. PENJELASAN (Jika diperlukan)
F. LAMPIRAN (Jika diperlukan)

Sedangkan rincian dari pointer di atas dapat dilihat pada lampiran UU No. 10 tahun 2004 karena begitu banyaknya spesifikasi atau rinciannya. Khusus untuk proses penyusunan produk hukum daerah mempunyai aturan tersendiri yang diatur dalam PMDN No.16 tahun 2006 Tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah.
Pimpinan satuan kerja perangkat daerah menyusun rancangan produk hukum daerah. Selain itu penyusunan produk hukum daerah juga dapat didelegasikan kepada Biro Hukum atau Bagian Hukum. Ketua Tim Antar Satuan Kerja Perangkat Daerah melaporkan perkembangan rancangan produk hukum daerah dan/atau permasalahan kepada Sekretaris Daerah untuk memperoleh arahan. Pembahasan rancangan peraturan daerah di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, baik atas inisiatif pemerintah maupun atas inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dibentuk tim asistensi dengan sekretariat berada pada Biro Hukum atau Bagian Hukum.
III. PENGUNDANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Suatu peraturan perundang-undangan yang sudah disahkan atau ditetapkan baru dapat berlaku mengikat umum apabila telah diundangkan dalam Suatu Lembaran Negara (LN) atau Berita Negara. Dan Lembaran Daerah dan Berita Daerah untuk Peraturan Perundang-undangan tingkat Daerah.
Pengundangan adalah penempatan peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, atau Berita Daerah.
Istilah Pengundangan atau Afkondiging atau Promulgation dapat berarti juga Publicate atau Publication. Yang dimaksud pengundangan di sini adalah pemberitahuan secara formal suatu peraturan negara dengan penempatannya dalam suatu penerbitan resmi yang khusus untuk maksud itu sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Landasan perlunya suatu pengundangan adalah een eider wordt geacht de wet te kennen (setiap orang dianggap mengetahui undang-undang) atau ignorantia iuris neminem excusat/ignorance of the law excuses no man (ketidaktahuan seseorang terhadap undang-undang tidak memaafkannya).
Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang-undangan harus diundangkan dengan menempatkannya dalam
a. Lembaran Negara Republik Indonesia;
b. Berita Negara Republik Indonesia;
c. Lembaran Daerah; atau
d. Berita Daerah.
Peraturan Perandang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, meliputi:
a. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang;
b. Peraturan Pemerintah;
c. Peraturan Presiden mengenai:
1. perigesahan perjanjian antara negara Republik Indonesia dan negara lain atau badan internasional; dan
2. peryataan keadaan bahaya.
d. Perataran Perundang-undangan lain yang menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku harus diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Sedangkan Peraturan Perundang-undangan lain yang menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku harus diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia. Letak pasal yang mengatur pengundangan ini biasanya terletak dalam ketentuan penutup.
Adapun pengundangan peraturan daerah atau sebutan lainnya dan pengumuman peraturan kepala daerah serta peraturan bersama kepala daerah dilakukan oleh sekretaris daerah (sekda) dan dapat didelegasikan kepada kepala Biro Hukum atau Kepala Bagian Hukum.

PENUTUP
Untuk mewujudkan negara hukum tersebut diperlukan tatanan yang tertib (good Governance) antara lain di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan. Tertib Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus dirintis sejak saat perencanaan sampai dengan pengundangannya supaya tidak kehilangan arah atau tujuan (loss purpose) sebagai negara hukum (rechtstaat). Untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang baik, diperlukan berbagai persyaratan yang berkaitan dengan sistem, asas, tata cara penyiapan dan pembahasan, teknik, penyusunan maupun pemberlakuannya.


ketutlatri@ymail.com
MASALAH PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK (P3A)
TIDAK ADA SALAHNYA KALAU KABUPATEN KLUNGKUNG
BELAJAR DENGAN KABUPATEN SIDOARJO


P3A KAB.SIDOARJO

M I S I
Melakukan penyadaran dan perlindungan terhadap perempuan dan anak akan hak azasi sebagai manusia.
Membantu memberdayakan perempuan dan anak korban kekerasan.
Menyediakan informasi yang diperlukan dalam mengupayakan perlindungan perempuan dan anak.
Menjadikan Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak (P3A) sebagai basis perempuan dan anak.

SASARAN
Sektor Pengelola Program Pemberdayaan Perempuan dan Anak, baik Pemerintah maupun Non Pemerintrah (LSM, Institusi Swasta, Perguruan Tinggi, Profesional, dll)
-Petugas Pelayanan Pemberdayaan Perempuan dan Anak
-Kelompok Perempuan dan Anak
-Kelompok Masyarakat Peduli Perempuan dan Anak
-Tokoh Agama
-Tokoh Masyarakat
-Tokoh Politik
-Tenaga Profesional Medis (Dokter, Bidan, Perawat, dsb)
-Tenaga Profesional lain (Psikolog, Lawyer, dsb)

STRUKTUR ORGANISASI P3A

Bentuk kegiatan P3A :

• Pelatihan jender
• Pelatihan Manajemen WCC
• Pelatihan Tenaga Pendampingan korban
• Pelatihan Tenaga Konseling
• Pelatihan-pelatihan bagi korban.
• Mengadakan lokakarya pendidikan di desain untuk para perempuan yang telah mengalami kekerasan
• Advokasi kebijakan pemerintah terhadap perempuan dan anak dengan membangun proses penyusunan legal drafting (Perda) Perlindungan perempuan dan anak kabupaten Sidoarjo

DIVISI UMUM DAN REHABILITASI
Tujuan :

Membantu mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh perempuan dan anak korban kekerasan
Mengupayakan pemberdayaan perempuan dan anak korban kekerasan pascapenanganan

Bentuk kegiatan

– Melakukan pelatihan-pelatihan untuk perempuan dan anak korban kekerasan
– Melakukan monitoring terhadap perempuan dan anak korban kekerasan pascapenanganan
– Melaksanakan operasional lembaga
– Secara periodik melakukan kunjungan ke rumah korban

DIVISI KAJIAN DAN PELATIHAN
Tujuan :
Mengupayakan dan mempengaruhi respon aparat penegak hukum sehingga dapat membangun sensitifitas gender dalam kebijakan-kebijakan yang dilahirkan terutama materi hukum yang tidak merugikan hak-hak perempuan
Meningkatkan kemampuan personil bersama-sama komponen masyarakat yang lain untuk memberikan pelayanan dan pendampingan terhadap perempuan dan anak korban ketidakadilan secara optimal dan menjawab persoalan ketimpangan gender dan kekerasan terhadap perempuan yang muncul ditengah-tengah masyarakat.
Menguatkan kelembagaan P3A

Bentuk Kegiatan :
-pelatihan gender
-pelatihan manajemen WCC
-Pelatihan tenaga pendamping korban
-Pelatihan tenaga konseling
-Pelatihan-pelatihan bagi korban
-Mengadakan lokakarya pendidikan didesain untuk para perempuan yang telah mengalami kekerasan

DIVISI JARINGAN KERJA DAN INFORMASI
Tujuan :

Memberikan informasi tentang segala sesuatu yang dibutuhkan bagi perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan
Mencari infomrasi tentang kasus tindak kekerasan terhadap perempuan baik dilingkungan rumah maupun diluar rumah untuk ditindak lanjuti
Mengubah pandangan masyarakat tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak didalam rumah tangga agar menjadi sebuah persoalan pelanggaran HAM yang seharusnya menjadi tanggung jawab bersama melalui penyebarluasan informasi dan media masa
Membuat booklet tentang pendidikan pencegahan dari kekerasan dan penganiayaan terhadap perempuan dan anak.

Bentuk kegiatan :
-Mensosialisasikan keberadaan P3A kepada masyarakat
-Membuka jaringan informasi on-line
-Menyediakan bahan-bahan informasi tentang pemberdayaan perempuan
-Pembentukan opini publik
-Publikasi publik di berbagai media massa
-Pengembangan dan penguatan jaringan dengan lembaga lain untuk program dan aksi bersama

DIVISI ADVOKASI DAN LITIGASI
Tujuan :
Membantu perempuan berdaya dalam membuat keputusan–keputusan bagi dirinya sendiri sesuai dengan kebutuhan dan kondisi korban
Menggunakan keberdayaan perempuan untuk mengubah pola atau struktur hubungan kekuasaan yang menjadi dasar berbagai permasalahan yang dihadapi
Bentuk kegiatan
Konseling hukum dan psikologis melalui tatap muka, telpon, surat , media massa
Pendampingan kelembagaan terkait, lembaga bantuan hukum, rumah sakit, pengadilan

DIVISI PENGADUAN PUBLIK DAN SHELTER
Tujuan :
Memberikan pelayanan kepada perempuan dan anak
Mensosialisasikan produk hukum tentang HAM perempuan dan anak pada masyarakat
Membantu perempuan dan anak korban kekerasan selama proses penanganan berlangsung
Menerima berbagai pengaduan dari perempuan dan anak
Proaktif dalam mencari informasai pada perempuan dan anak yang memelukan perlindungan
Menerima pengaduan, mendokumentasikan dan memberikan rujukan pada pihak-pihak terkait
Menindaklajuti hasil pengaduan dari masayarakat ke divisi advokasi dan litigasi

DIVISI PELAYANAN PSIKOSOSIAL DAN MEDIS

Memberikan pelayanan psikososial dan medis terhadap perempuan dan anak korban kekerasan
Mengkoordinasikan pelayanan dengan pola terpadu dengan melibatkan pihak puskesmas, rumah sakit dan kepolisian
Membantu perempuan dan anak korban pasca penanganan dalam aspek psikososial dan medis
Bentuk kegiatan :
Membantu menangani permasalahan perempuan dan anak korban kekerasan dari aspek psikososial dan medis
Melakukan terapi sesuai yang dibutuhkan oleh korban

DONATUR/FUNDING :

KPP (Kementerian Pemberdayaan Perempuan)
Pemprov. Jatim
Pemkab. Sidoarjo
CSSP / USAID
Tifa Foundation
Yayasan Mitra Mandiri
Kedutaan Besar Amerika Serikat
Dewan Gereja Dunia
UNDP-PARTNERSHIP
Pirac
IOM

MITRA KERJA :
KPP (Kementerian Pemberdayaan Perempuan)
Pemprov Jatim
Pemkab Sidoarjo
Kepolisian
Kejaksaan
Pengadilan
PPSW Unair (konsultan)
PSW Unmuh Sidoarjo
LSM
Ormas
Toga/Tomas/Pekerja Sosial

CATATAN PERKEMBANGAN P3A
• Memperoleh penghargaan IMP Award tahun2003
Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia bekerjasama dengan sebuah lembaga internasional ITT (International Transfer Technologi) New Zealand dengan difasilitasi World Bank menyelenggarakan sebuah penilaian Inovasi Manajemen Perkotaan (IMP) terhadap perkembangan dan pelaksanaan otonomi daerah .

• Kabupaten Sidoarjo melalui program Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak memperoleh penghargaan tertinggi dalam bidang Pemberdayaan Masyarakat, penghargaan diserahkan oleh Menteri dalam Negeri Bp Hari Sabarno di Nusa Dua Bali dan diterimakan oleh Bapak Bupati Sidoarjo Drs. Win Hendrarso, M.Si beserta ketua umum P3A Ibu DR.Emy Susanti.


Peningkatan Pelayanan Melalui Pengadaan Shelter Beserta Sarana Pelengkap Operasionalnya
Gedung kapasitas 8 orang
Terjaga kerahasiaan akan keberadaannya
Mendapat dukungan dana dari pemerintah
3 Orang Psikolog, 3 Dokter, dan Relawan yang terlatih dalam menangani korban kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak
Kerjasama dengan RSUD dan Polres Sidoarjo

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)
Pengaduan Langsung :
STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)
Pengaduan Melalui Hot Line:


STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)
PENGADUAN MASYARAKAT DAN MEDIA
SKEMA MEKANISME PELAYANAN P3A SIDOARJO

Jumat, 23 Oktober 2009

Empat Cara Menuju Sukses



Empat cara seseorang menjadi sukses yang akan disampaikan berikut ini adalah versi Edward D'Bono. Beliau adalah seseorang yang memfokuskan studinya pada bidang psikologi kreativitas. Salah satu buku hasil karya beliau yang terkenal adalah Lateral Thinking.

Dalam buku tersebut, beliau bercerita tentang tak tik. Dari hasil mencari beberapa kesamaan yang dimiliki oleh orang-orang sukses, beliau menemukan empat alasan yang mendorong seseorang menjadi sukses.

Pertama adalah luck (keberuntungan). Banyak masyarakat yang beranggapan bahwa sukses terjadi karena kebetulan. Menurut Edward D'Bono, memang ada orang sukses karena mendapatkan keberuntungan. Misalnya, tiba-tiba mendapat lotre senilai USD 1 juta (sekitar Rp 8,5 miliar) atau menikah dengan orang yang sangat kaya. Bisa juga tiba-tiba bisnis yang sedang digeluti mendapatkan order dalam jumlah besar. Tiga contoh itu adalah kesuksesan karena kebetulan.

Kedua adalah very talented (sangat berbakat). Seseorang menjadi sukses karena dia memang mempunyai kapabilitas yang luar biasa di segala sisi. Salah satu contoh konkritnya adalah Mozart. Dalam usia empat tahun dia sudah mampu bermain piano dengan permainan yang luar biasa bagus. Mozart ini adalah salah satu contoh orang yang very talented. Contoh lain adalah Richard Claiderman, seorang pianis moderen yang juga sangat berbakat di bidangnya. Di bidang olah raga salah satu contohnya adalah Tiger Wood, seorang pemain golf yang very talented.

Ketiga adalah you are on a growing business sector. Anda sukses karena melakukan bisnis di sektor yang sedang tumbuh pesat. Contohnya, orang-orang yang melakukan bisnis komputer di tahun 1985-an kebanyakan relatif berhasil. Orang yang berbisnis internet juga banyak yang mendapatkan sukses. Jika Anda melakukan bisnis di sektor yang sedang tumbuh, kemungkinan untuk menjadi sukses akan lebih besar.

Keempat adalah you are little bit mad. Anda harus sedikit gila kalau ingin meraih sukses. Sedikit gila memang tidak selalu menghasilkan hal negatif. Anda bisa sukses dengan gila prospekting, gila presentasi, gila hadir ke pertemuan, gila promosi, gila jualan, gila cari downline, gila TUPO ...

Sekarang anda sudah tahu berada pada zona mana? tinggal optimalkan spirit dan energi anda untuk meraih sukses seperti yang anda inginkan





Menuju Kebebasan Financial



Untuk memiliki kebebasan finansial, Anda mutlak harus memiliki Kecerdasan Finansial/FC (Financial Quotient). Untuk memiliki kecerdasan finansial, Anda tidak perlu jenius secara IQ namun hanya membutuhkan upaya untuk merubah persepsi atau pola pikir Anda tentang uang. Benarkah jika semakin kaya seseorang maka ia harus semakin sibuk? ternyata tidak! dan hanya orang yang punya kecerdasan finansial yang tahu rahasianya.

Menurut Robert T Kiyosaki, penulis Best Seller “Rich Dad Poor Dad”, untuk memperoleh penghasilan, anda bisa mendapatkannya dari 4 quadran berikut ini:

1. KUADRAN E ( EMPLOYEE / KARYAWAN )

Anda bekerja untuk ORANG LAIN, dimana anda telah terikat untuk bekerja dengan waktu tertentu dan dengan penghasilan yang tertentu juga.

2. KUADRAN S ( SELF EMPLOYED / PROFESIONAL /SMALL BUSINESS )

Anda bekerja untuk DIRI ANDA SENDIRI, dimana anda tidak terikat secara waktu dan penghasilan, tetapi anda harus BEKERJA SEMAKIN KERAS (menghabiskan lebih banyak waktu), untuk memperoleh penghasilan yang lebih besar.

3. KUADRAN B (BUSINESS OWNER / PEMILIK BISNIS)

Anda bisa mendapatkan penghasilan dari SISTEM, dimana dalam sistem ini ORANG LAIN bekerja untuk ANDA. Jadi anda tidak terikat waktu, tetapi penghasilan tak terbatas.

4. KUADRAN I (INVESTOR / PENANAM MODAL)

Anda mendapatkan penghasilan dengan menanam modal, sehingga UANG bekerja untuk ANDA.

Anda lihat perbedaan mendasar dari 4 kuadran diatas, pada kuadran 1 dan 2, penghasilan anda linier terhadap waktu yang anda miliki, artinya semakin anda kaya maka semakin sibuklah Anda!

Jadi pertanyaannya: Sampai kapan Anda sanggup untuk SIBUK?

Apakah hidup ini hanya akan anda habiskan untuk mendapatkan UANG? Dan kalau Anda tidak bekerja maka tidak akan mendapat uang... Menurut sebuah penelitian terbukti bahwa pada usia 35 tahun kualitas kehidupan seseorang berada dipuncak, sehingga semakin lama semakin menurun. SUDAHKAN SIAPKAH ANDA? Pada kuadran kiri atau 1 dan 2, orang memilih untuk mendapatkan KEAMANAN. Karena menurut mereka, jika setiap bulan menerima penghasilan akan aman.. padahal kalau di PHK atau sakit? Penghasilan hilang seketika..!

Jadi yang diperoleh sebenarnya adalah KEAMANAN KERJA bukan keamanan penghasilan. Pada kuadran kanan atau 3 dan 4, orang memilih untuk mendapatkan KEBEBASAN. Bebas berusaha untuk mendapatkan penghasilan berapapun yg mereka inginkan!!! Jadi dia bisa mendapatkan KEBEBASAN PENGHASILAN dan WAKTU.

Kembali pada tulisan Robert T. Kiyosaki : Jika anda ingin mendapatkan penghasilan tak terbatas namun waktu yang anda miliki semakin luang maka Anda harus masuk ke kuadran 3 atau 4.

TETAPI Apakah untuk itu semudah anda berganti karier? TIDAK MUDAH!

Untuk masuk kuadran 4 Anda sudah tentu harus punya BANYAK UANG untuk diinvestasikan. Jika anda punya maka anda hanya perlu FQ atau Kecerdasan Finansial, sehingga anda mampu mengendalikan RESIKO. Untuk anda berpindah ke kuadran 3 maka anda harus MENCIPTAKAN SISTEM, atau MEMBELI SISTEM yang sudah ada. Untuk menciptakan sistem dibutuhkan kemampuan luar biasa dan EQ atau Kecerdasan Emosional, dalam membuat sistem baru banyak orang yang harus melalui berbagai rintangan dan kegagalan dan sebelum mencapai kesuksesan seringkali harus gagal lebih dari 3 kali.

Selain menciptakan anda bisa membeli sistem yang sudah sukses, sistem yang bisa dibeli ada 2 macam yaitu Franchise (Waralaba) dan sistem pemasaran berjenjang (MLM). Untuk mendapatkan kebebasan penghasilan / Finansial minimal anda harus berada di kuadran 3, Anda harus memiliki SISTEM.

Cara mudah untuk memiliki sistem adalah dengan membeli sistem yang sudah sukses. Dan sistem yang terbukti sudah sukses tetapi murah adalah pemasaran berjenjang (MLM) atau network marketing.

Melalui konsep ini anda bisa belajar untuk mengendalikan RESIKO, sambil mengembangkan EQ juga belajar bagaimana jatuh bangunnya memulai bisnis sendiri namun sekali lagi dengan murah. Karena dalam bisnis MLM MURNI (bukan palsu) pelatihan, training dan pengembangan SDM sangat diutamakan.
Kesalahan-kesalahan memulai karir di Network Marketing


Anda pasti sering mendengar betapa banyak kisah sukses di dunia MLM, dimana seorang yang asalnya betul-betul bangkrut kemudian dalam waktu yang sangat singkat dalam hitungan bulan tiba-tiba menjadi 'super star' dan menghasilkan sebuah kisah sukses dengan penghasilan hingga puluhan atau bahkan ratusan juta perbulan! Kemudian Anda didepan cermin melihat 'seorang' yang sudah tahunan menggeluti bisnis MLM dan status keuangan 'orang tersebut' tidak lebih baik dari sewaktu pertama memulainya. Ya, orang tersebut adalah Anda sendiri.

Kini Anda bertanya-tanya, apakah Anda bisa mempercayai kisah-kisah sukses Yang
dulu membuat Anda tertarik dengan bisnis ini.

Kenyataannya adalah sederhana: kisah-kisah sukses tersebut bukan sekedar Legenda
atau khayalan. Apabila Anda belum mencapainya hampir dapat dipastikan Anda telah
melakukan 1 atau semuanya 7 Kesalahan Terbesar di Awal Karir MLM Anda.

OK, kini saatnya Anda instropeksi dan mengoreksi kesalahan-kesalahan tersebut:


1 .Anda menganggap MLM sebagai bisnis yang tidak perlu kerja keras.

Apakah MLM sebuah bisnis yang konsepnya sangat sederhana? Ya. Apakah cukup
bekerja seadanya untuk mencapai sukses di dunia MLM? tidak, tidak dan tidak!
Sebagian besar pelaku MLM beranggapan bahwa mereka dapat bergabung dengan bisnis
MLM dan beberapa bulan kemudian mereka telah mendapatkan bonus puluhan juta
perbulan tanpa bekerja keras. Hal tersebut sama sekali tidak benar. Para
distributor sukses MLM yang telah menikmati bonus bulanan hingga ratusan juta
akan mengatakan: Anda harus bekerja keras dan cerdas dengan system yang ada dan
penghasilan Anda bisa mencapai puluhan bahkan ratusan kali.

Seorang teman yang kini bonusnya sudah mencapai ratusan juta perbulan
mengatakan: Saya mengerjakan bisnis ini bukan hanya dengan keringat, tapi juga
darah dan air-mata? Katanya menggambarkan penderitaan yang bertubi-tubi diawal
karir MLM-nya. Sukses saya memang adalah suatu berkah, tapi bukan sama sekali
bukanlah suatu kebetulan. Saya merencanakannya dari dulu dan mengerjakan apapun
untuk mencapainya

Jadi Anda harus menyadari bahwa bisnis MLM adalah suatu bisnis yang harus Anda
kerjakan dengan penuh komitmen. Bedanya dengan pekerjaan konvensional adalah
Anda kini yang menentukan sendiri seberapa tinggi Anda ingin sukses dan Anda
tidak perlu repot memulainya, sebab perusahaan MLM sudah menyediakan semua
system: manajemen, produk, system bonus, dan training.


Meskipun ada system spillover dimana Anda bisa mendapat downline gratis, tapi
itu bukanlah satu-satunya yang menjamin kesuksesan Anda. Sistem spillover hanya
mempermudah namun tidak menjamin. Kerja keraslah yang menjamin Anda sukses. Saya
yakin Tuhan setuju dengan pendapat saya.


2. Anda tidak memiliki target yang jelas!

Kenapa Anda bergabung dengan perusahaan MLM? Apa yang Anda inginkan? Berapa
bonus yang Anda ingin hasilkan?

Jawaban UMUM dari 3 pertanyaan diatas umumnya adalah:
- Ingin dapat uang
- Bonus yang besar
- Sebanyak-banyaknya.

Dengan pengertian dan jawaban seperti itu, berapa kira-kira bonus yang akan Anda
hasilkan? Tidak banyak. Ingat, MLM adalah suatu bisnis dan Anda harus mempunyai
target yang jelas untuk sukses dalam suatu bisnis. Cukup masuk akal bukan? Anda
harus tahu berapa bonus yang ingin Anda dapatkan 6 bulan, 1-2 tahun yang akan
datang dst. Apa yang Anda lakukan dengan bonus-bonus tersebut: membeli BMW 325i
baru warnah merah? Mengajak keluarga berwisata? Lalu kenapa 95% orang tidak
memiliki target yang jelas? Karena umumnya orang takut untuk membuat suatu
target. Bagaimana kalau tidak tercapai? Begitu umumnya pikiran 95% orang. Itu
sebabnya 95% orang tersebut tidak puas dengan hidup mereka 95% orang tidak
merasa mereka telah mencapai sesuatu yang dapat mereka banggakan. Sekarang mari
kita analisa: seandainya Anda mencanangkan suatu target dan memang tidak
tercapai, apakah kesehatan Anda terganggu? Apakah orang-orang yang Anda cintai
tiba-tiba meninggalkan Anda?

Herman, seorang distributor MLM yang bekerja sebagai pegawai lapangan disebuah
perusahaan mainan mengatakan kepada semua temannya bahwa 3 bulan kemudian dia
akan dapat membeli sebuah sedan baru. Bahkan dia memberikan deskripsi yang jelas
tentang warna, jenisnya dan harganya. Teman-teman mereka tertawa sewaktu
mendengarkan 'komitmen' tersebut. Dan mereka tertawa lebih terbahak-bahak
sewaktu akhirnya Sonny barusan mendapatkan 'komitmennya' 3 bulan lewat 10 hari.
Ha..ha..ha..kamu terlambat kan mendapatkan mobil ini? olok mereka. Dengan
tersenyum, Sonny menjawab: Memang saya terlambat hampir 10 hari dari target
saya, tapi paling tidak sekarang saya punya mobil baru. Jauh lebih baik dari 3
bulan yang lalu saya harus naik bis ke tempat kerja. Bagaimana dengan kalian
sendiri? Kalian memang tidak terlambat mencapai target apapun karena anda TIDAK
memiliki target apapun?.
Sampaikan salam saya untuk kondektur bis yang biasa kita jumpai setiap pagi.

Kami yakin Anda pun akan mengatakan dan merasakan suatu kebanggaan apabila Anda
adalah Herman.

Kunci dari suatu keberhasilan adalah Anda harus memiliki suatu target yang jelas
apa yang Anda inginkan dari bisnis MLM Anda. Brian Tracy seorang konsultan
pengembangan SDM terkemuka di dunia dalam bukunya 21 rahasia untuk menjadi
Multi Milyader mengatakan: Rahasia pertama untuk menjadi multi-milyader adalah
BERMIMPI IMPIAN YANG BESAR (dream big dreams).

Koreksi: Bertanyalah kepada diri Anda: berapa bonus atau apa yang harus Anda
miliki untuk sekarang menjadi 'happy'? Dengan kata lain, begitu Anda memulai
bisnis MLM, Anda harus segera memikirkan apa yang ingin Anda hasilkan dari
bisnis Anda: keliling dunia? Beli mobil dan rumah mewah?


3. Anda tidak memiliki dana operasional yang memadai

Meski bisnis Triple-s hanya alih belanja namun sangat disarankan agar Anda punya
lebih sedikit uang lagi untuk membeli buku motivasi, formulir, bikin brosur,
hadiri pertemuan dll.

Apakah berarti bisnis MLM adalah bisnis yang mahal untuk memulainya? Tentu saja
tidak. Coba bandingkan dengan bisnis lainnya. Untuk memulai berjualan bakso
saja, misalnya, Anda pasti butuh sekitar Rp. 5.000.000,- untuk membeli gerobak
dorong, bahan pokok, dll. Dan berapa lama kira-kira Anda bisa mengembalikan
modal tersebut?

Koreksi: Anda sebaiknya memulai bisnis MLM tidak dengan modal kosong. Paling
tidak Anda harus memiliki penghasilan tetap untuk menghidupi kebutuhan minimal
Anda sehari-hari entah dengan bekerja atau ambil untung dari berjualan produk
Triple-s. Jangan sampai Anda menghabiskan tabungan Anda untuk
mengerjakan bisnis MLM yang mungkin baru membuahkan suatu penghasilan 1 tahun
berikutnya.



4. Anda tidak mempunyai Mentor yang patut ditiru:

Walaupun banyak cara untuk mencapai sukses, tapi alangkah bagusnya apabila ada
yang mengajarkannya kepada Anda sehingga Anda tidak perlu susah-susah untuk
menemukannya sendiri. Seorang pakar pengembangan kepribadian ternama didunia
Anthony Robbins mengatakan: Buat apa susah-susah mencari jalan, karena sudah
banyak orang lain yang melakukannya. Anda tinggal melakukan hal yang sama mereka
lakukan, maka Anda akan mendapatkan hasil yang sama pula.

Koreksi: Carilah di jajaran upline Anda siapa saja yang telah mencapai tingkat
kesuksesan seperti yang Anda inginkan. Kemudian tanyalah bagaimana 'resep' dan
strategi mereka hingga mencapai sukses.
5. Anda terjebak dalam Management Trap

Sebetulnya ada 2 macam management trap yang bisa menjadi penghambat utama bisnis MLM Anda. Untungnya, solusi dari masalah tersebut semuanya tergantung pada Anda sendiri. Pertama, Anda mengalami betapa sulit mensponsori seorang distributor ke Bisnis MLM Anda. Itu sebabnya begitu mendapatkan beberapa distributor, Anda sedemikian kuatir kehilangan mereka.
Segala cara apapun Anda lakukan untuk memberikan servis' agar mereka tidak kecewa dan berhenti mengerjakan bisnis MLM Anda, mulai dari memberikan biaya operasional, downline, dll. Kita sering terpaku dengan kebiasaan mensponsori distributor baru dan memberikannya kepada distributor yang malas, diorganisasi kita dengan harapan mereka akan termotivasi' untuk menjadi aktif.
Berapa kali atau berapa persentase keberhasilannya? Paling banyak 1 atau 2 %.

Motivasi adalah suatu sifat dari dalam diri kita sendiri, bukan dari luar. Sering seorang Distributor memohon 'beri saya downline dong, biar semangat.' Seharusnya distributor tersebut memberikan ijazah dulu kepada anaknya biar giat sekolah? Atau, sering kita mendengar distributor merengek 'upline harus bantuin downline dong, biar termotivasi untuk bekerja.' Ingat, tugas upline atau sponsor memang membantu, tapi hanya dalam hal support atau training dan bukan memberi downline, brosur uang pendaftaran, dll.

Seorang distributor sukses mempunyai kepribadian seorang leader dari awal, bukan
setelah mendapat kucuran downline dari uplinenya. Bahkan semua distributor
sukses dengan bonus ratusan juta per bulan memiliki suatu kesamaan: mereka
menghormati jajaran sponsor dan upline mereka, tapi mereka tidak menggantungkan
bisnis mereka kepada para sponsor tersebut. Saya lebih berkonsentrasi membina
organisasi saya, sebab dari merekalah saya dapat mencapai impian saya. Ungkap
Debra seorang ibu rumah tangga dengan bonus lebih dari Rp. 1 Milyar per bulan.

Saya jarang ngobrol dengan upline, sebab sibuk dengan downline saya. Namun saya
yakin upline saya tidak keberatan. Siapa yang keberatan punya downline dengan
bonus bulanan Rp. 1 Milyar????

Seharusnya Anda justru banyak melakukan seleksi untuk memilih dengan siapa Anda
sebaiknya melakukan investasi waktu dan pembinaan. Ada pepatah klasik di MLM
yang mengatakan: Jangan mengirim anak ayam ke sekolah rajawali. Artinya semua
orang memang mengatakan ingin sukses, kaya, dsb., tapi hanya sebagian kecil yang
betul-betul mau bekerja sesuai dengan komitmennya.

Sebagian besar dari organisasi Anda akan terdiri dari konsumen partimer MLM
mereka yang mengerjakan bisnis ini belum secara penuh, baik waktu maupun
komitmen. Tapi tugas dan strategi Anda adalah membina mereka yang memiliki
komitmen 100%, karena walaupun jumlah mereka sedikit, tapi merekalah yang akan
membuat Anda pensiun kaya. Saya hanya bekerja dengan 5 top leader setiap
bulan hanya mereka yang memberikan komitmen 100% pada bisnis ini, kata
Stefanus, penghasil bonus bulanan $400,000+. Untuk mendapatkan 5 top leader
tersebut, biasanya saya harus sponsor lebih dari 50 orang dan sering bahkan saya
harus meneliti hingga kedalaman jaringan saya, mereka tidak selalu di level
pertama.

Management Trap berikutnya adalah anggapan bahwa kita MEMILIKI downline kita
selamanya dan seutuhnya. Seringkali tanpa sepengetahuan kita beberapa anggota downline keanggotannya 'expired' atau kadaluwarsa. Kemudian beberapa saat
kemudian distributor tersebut bergabung lagi dengan sponsor yang berbeda, maka
'mantan' upline atau sponsornya menjadi marah. Ingatlah bahwa MLM adalah bisnis
'sukarela' dalam arti kita tidak bisa memaksa seseorang untuk bekerja sesuai
dengan kemauan kita. Ibaratnya kita telah cerai dengan pasangan kita, apakah
kita akan marah kalau dia kencan dengan orang lain? Seharusnya kita justru harus
memberikan semangat agar distributor tersebut lebih sukses dengan jajaran
uplinenya yang baru.

Koreksi: Pertama, buatlah suatu sistem dimana Anda bisa terus menerus
mensponsori member baru. Ingat, New members = new blood = new life. Sponsori
semuanya langsung oleh Anda hingga Anda menemukan 3-5 individual yang betul-
betul komitmen untuk sukses apapun resikonya. Berikan training kepada individual
tersebut. Setelah mereka mandiri dalam 2-3 bulan, carilah lagi member baru untuk
menggantikan mereka yang telah mandiri. Kemudian pantaulah perkembangan para
leaders Anda: diskusi, presentasi dan bila perlu beramh-tamah untuk mempererat
hubungan. Ajarkan kepada mereka untuk melakukan hal yang sama terhadap para
leaders mereka. Artinya, duplikasikan kepedulian Anda kepada seluruh organisasi
Anda.


6. Anda tidak mempunyai komitmen.

Kita sering mendengar distributor MLM mengatakan: saya mengerjakan 3 perusahaan
MLM dengan produk yang berbeda: food supplement, tas dan oli mobil karena saya
punya pangsa pasar yang berbeda. Seharusnya distributor diatas membuka
supermarket untuk memenuhi kebutuhan pangsa pasarnya yang berbeda.

Kenapa distributor dengan lebih dari 1 MLM gagal di bisnis ini? Bisnis MLM adalah bisnis duplikasi, jadi Anda akan menduplikasikan etika dan cara kerja Anda kepada organisasi Anda- hal yang baik maupun hal yang buruk. Bayangkan, bila Anda mengerjakan MLM A dan MLM B, maka downline Anda dari MLM A akanmengerjakan MLM A dan MLM C. Kemudian downlinenya lagi akan mengerjakan MLM C dan MLM D. Maka akhirnya Anda tidak memiliki organisasi yang berjalan sesuai dengan sistem.

'Saya akan komit ke satu perusahaan kalau bonusnya sudah besar?. Begitu kira- kira alasan klasik distributor. Tapi pernahkah kita berpikir:'Bonus teman saya besar karena selama ini komit hanya ke satu perusahaan?'

Dari 100 penghasil terbesar MLM yang pernah dipublikasikan oleh Upline Magazine,
tidak seorangpun dari mereka yang mengerjakan lebih dari 1 perusahaan.

Selain komitmen terhadap satu bisnis MLM, Anda juga perlu komitmen terhadap target Anda sendiri. Istilahnya: It's now or never!

Target yang jelas (Kesalahan no. 2) dan komitmen sebetulnya merupakan satu kesatuan yang saling mendukung. Kadang-kadang kita merasa frustrasi dengan perkembangan bisnis kita, tapi selama kita tetap berkomitmen untuk mencapai target, kita akan kembali bersemangat.

Koreksi: Jangan memulai bisnis MLM di lebih dari 1 perusahaan karena Anda tidak
akan fokus dan bertanyalah pada diri Anda, apa yang Anda bersedia lakukan untuk
mencapai semua target Anda? Kemudian jangan menyerah sebelum target tersebut
tercapai.


7. Anda tidak belajar untuk sukses dan mandiri

Kemampuan apa saja yang Anda perlukan untuk sukses dalam bisnis MLM? Atau lebih
tepat, apa saja yang harus Anda lakukan? Cukup sederhana:

a. Konsumsi produk-produk MLM Anda, jadilah product of the products
b. Lakukan promosi offline dengan memberikan presentasi yang optimal dan terus
menerus untuk mensponsori distributor baru.
c. Lakukan promosi online untuk mensponsori distributor baru dan binalah secara
online.
c. Lakukan training kepada organisasi Anda agar menduplikasikan ke-3 hal tersebut diatas.

Sederhana, bukan? Tapi berapa banyak distributor yang melakukannya? tanpa
mempercayai dan mengkonsumsi sendiri produk MLM Anda, sangatlah sulit untuk
membuat orang lain mengkonsumsinya untuk jangka waktu yang panjang. Ingat, tidak
semua distributor akan menghasilkan bonus yang besar di organisasi Anda.

Tapi selama mereka mempercayai dan mengkonsumsi produk, Anda akan terus mendapatkan bonus. Produk adalah kunci utama apakah Anda akhirnya akan bisa
pensiun dari bisnis MLM Anda (baru system bonus yang menentukan seberapa besar
uang pensiun Anda tersebut).

Seringkali distributor MLM tidak mau belajar bagaimana memberikan presentasi,
apalagi training. Padahal presentasi adalah nafas hidup bisnis MLM Anda. Bahkan
pernah sewaktu menghadiri sebuah presentasi MLM, seorang distributor mengeluh
bahwa presentasi yang dilakukan oleh pihak perusahaan tidak pernah berubah, jadi
banyak distributor yang sudah bosan. Kami bertanya walaupun sudah sangat menduga
bagaimana perkembangan organisasi MLM distributor tersebut. Jawabannya: tidak
berkembang sama sekali. Jelas bahwa distributor tersebut salah kaprah dalam menerima suatu presentasi yang ditujukan untuk CALON DISTRIBUTOR, bukan untuk distributor yang sudah aktif. Bagi seorang calon distributor, presentasi seperti apapun adalah BARU.

Harvey Connors, seorang senior bisnis MLM bahkan membuat system dimana distributornya memberikan presentasi yang sama selama bertahun-tahun. Anda bahkan harus ikut tertawa saat mendengarkan lelucon yang sama. Puluhan kali. Ratusan kali, katanya. Hasilnya, bonus ratusan juta perbulan dan puluhan ribu organisasi yang berkebang terus.

Koreksi: kembalilah ke ilmu dasar MLM, yaitu, mengkonsumsi produk sendiri, sponsori member baru(terus-menerus), dan duplikasikan ke-2 hal tersebut kepada seluru organisasi Anda. Memang tidak mudah untuk sukses di MLM, tapi juga tidak serumit yang masyarakat umum perkirakan. Paling penting, kenalilah manfaat produk secara global dan bagaimana memberikan presentasi yang efektif.

Nah, kini Anda bisa menganalisa apakah Anda melakukan kesalahan klasik diatas?
Anda sebaiknya menyadari dan mengakui kesalahan mana yang Anda lakukan dan Anda
DUPLIKASIKAN. Perbaiki kesalahan tersebut dan mulailah mengerjakan bisnis MLM
seperti layaknya mereka yang sukses. Dan yang terpenting, jangan Anda pernah
merasa putus harapan dengan bisnis ini karena kesalahan di masa lampau.

Anthony Robbins selalu mengatakan: Sukses berasal dari tindakan benar, tindakan
yang benar berasal dari pengalaman, pengalaman berasal dari suatu kesalahan atau
bad judgement. Nah, jadi kesalahan dimasa lampau tidak ada artinya apabila Anda
bersedia menyadari dan memperbaikinya.


Latri.
PERNYATAAN SIKAP LEMBAGA PARTISIPASI PEREMPUAN (LP2) DALAM KASUS PERLINDUNGAN ANAK & PEREMPUAN

Tanggal: 27 Nov 2008
Sumber: LEMBAGA PARTISIPASI PEREMPUAN (LP2)

Prakarsa Rakyat, PROSES HUKUM HARUS
TETAP DIJALANKAN SEBAGAI EFEK JERA


Setiap tanggal 25 November, dunia memperingati Hari Anti Kekerasan terhadap
Perempuan. Tanggal tersebut akan terus diperingati mengingat kekerasan berbasis
gender masih terus terjadi di seluruh dunia, termasuk Indonesia, dan sebagian
besar menimpa perempuan dan anak. Pada momentum hari peringatan internasional ini,
kami juga tidak habis-habisnya ingin mengingatkan kembali semua pihak agar mulai
saat ini, hukum yang melindungi perempuan dan anak benar-benar ditegakkan, semata-mata demi masa depan mereka. Disadari pula bahwa faktor tradisi dan agama yang masih
memposisikan perempuan sebagai kelas dua, memang umumnya jadi tantangan
penegakan hukum di manapun. Namun, kita juga sadar bahwa kita harus terus
mengupayakan jaminan hak-hak perempuan dan anak tetap terlindungi.
Pada momentum ini, sebagai organisasi yang aktif melakukan advokasi tentang
perlindungan perempuan dan anak, kami berharap agar kasus seperti yang dialami
oleh Lutviana Ulfa (12 tahun) yang dikawini oleh Syekh Pujiono tidak akan
pernah lagi dialami oleh anak perempuan Indonesia. Meski proses perdamaian
telah dilakukan, kami tetap mendorong aparat penegak hukum untuk tetap
melakukan proses penyidikan dan menyeret pelaku ke pengadilan. Karena hal
tersebut menjadi sangat penting sebagai proses pembelajaran masyarakat dan
menimbulkan efek jera.. Kecuali jika kita semua memang menginginkan bahwa undang-undang
yang sudah ada hanyalah menjelma jadi macan kertas.
Indonesia sebenarnya telah memiliki berbagai produk Undang-undang yang
melindungi anak perempuan dari praktek-praktek yang diskriminatif dan
menyengsarakan masa depannya. Dalam kasus perkawinan Lutviana Ulfa & Syekh
Pujiono jelas telah terjadi pelanggaran berat atas produk-produk hukum berikut
ini:
1. Pasal 7 ayat 1 dalam UU Perkawinan No. 1 tahun 1974yang menyebutkan bahwa "Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun."
2. Pasal 10 dalam UU No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. Pasal tersebut antara lain mewajibkan negara-negara peserta untuk membuat peraturan yang tepat khususnya guna menjamin persamaan hak antara pria dan wanita di berbagai bidang misalnya dalamPasal 10 poin f: "Pengurangan angka putus sekolah pelajar puteri dan penyelenggaraan program untuk gadis-gadis dan wanita yang sebelum waktunya meninggalkan sekolah"
Juga
dalam Pasal 16 ayat 2 yang berbunyi:
"Pertunangan dan perkawinan seorang anak tidak akan mempunyai akibat hukum dan
semua tindakan yang perlu, termasuk perundang-undangan, wajib diambil untuk
menetapkan usia minimum untuk kawin dan untuk mewajibkan pendaftaran perkawinan
di Kantor Catatan Sipil yang resmi."
Perbuatan menikah memang tidak berimplikasi hukum pada anak-anak, namun para orang dewasa yang terlibat harus menerima konsekuensi hukumnya dan mengikuti prosedur hukum perkawinan yang benar yakni mencatatkannya dalam lembar negara yang sah.
1. Pasal 1 ayat 1 dalam UU No. 23 tahun 1992 tentang Perlindungan Anakyang menerangkan bahwa: "Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun), termasuk anak yang masih dalam kandungan."
Pasal 13dalam UU ini juga menjelaskan bahwa: "Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a. Diskriminasi
b. Eksploitasi baik
ekonomi maupun seksual
c. Penelantaran
d. Kekejaman,
kekerasan, dan penganiayaan
e. Ketidakadilan; dan
f. Perlakuan salah lainnya
(1) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh
anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.
Juga dalam Pasal 88 UU Perlindungan Anak yang berbunyi: "Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp.200 juta."
1. Pasal 49 UU No. 39 tahun 1999 tentang Ratifikasi Hak Asasi Manusia, disebutkan bahwa:
(2) Hak khusus yang melekat pada diri wanita
dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum.
Bagaimana pasal ini dapat
dijalankan jika anak-anak perempuan harus menikah di usia yang masih rentan (Yayasan
Kesehatan Perempuan menyebutkan bahwa rahim perempuan baru benar-benar siap
bereproduksi pada usia 20 tahun, jika tidak maka akan terjadi rawan gangguan
kehamilan, kematian saat melahirkan, kanker, tumor, dan penyakit lainnya).
Pasal lain dalam UU HAM ini juga mengatur hak anak,
antara lain Pasal 60 yang
menyebutkan:
(1) Setiap
anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya.
Dan dalam Pasal 61 dijelaskan pula bahwa: "Setiap anak
berhak untuk beristirahat, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain,
berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya
demi pengembangan dirinya".
Dan terakhir adalah ada pada Pasal 65 yang menyebutkan agar: "Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta berbagai bentuk penyalahgunaan narkotik, peikotropika dan zat adiktif lainnya."
1. Pasal 12 UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orangyang menyebutkan bahwa: "Setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya …dst, dipidana penjara paling lama 15 tahun dan denda sesuai pasal 2,3,4,5,6" (paling besar Rp 600 juta)
Dalam pasal 17 UU PTPPO ini juga disebutkan bahwa "Jika
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, 3,4, dilakukan terhadap anak,
maka ancaman pidananya ditambah 1/3".
1. Pasal 6 UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)yang mencanangkan program wajib belajar 9 tahun. Pasal 6 tersebut berbunyi:
(1) Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
(2) Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap kelangsungan penyelenggaraan pendidikan. Bagaimana program ini akan berjalan jika anak-anak dicerabut dari ruang belajarnya, kehilangan hak untuk mendapatkan pendidikan dan kehilangan masa remajanya karena harus bereproduksi, mengasuh anak, sibuk melayani suami dan melakukan tugas-tugas rumah tangga lainnya).

Kami juga mengusulkan
agar di berbagai daerah dibuat Perda anti Praktek Pedofilia. Karena praktek
menyetubuhi anak-anak ini, apapun kedoknya, sudah sedemikian mengkhawatirkan,
mengancam hidup anak-anak Indonesia,
membuat korban menjadi trauma dan berpotensi mengakibatkan anak Indonesia
kehilangan masa depannya.
Di samping itu negara
harus melarang seluruh masyarakat untuk melakukan praktek kawin bawah tangan/kawin
siri sebab praktek kawin bawah tangan pada akhirnya hanya berujung pada
penelantaran dan umumnya pihak perempuanlah yang paling dirugikan. Praktek
kawin siri juga merupakan tindakan ilegal sebab tidak tercantum dalam catatan
sipil, karenanya jika terjadi masalah, pihak perempuan berada pada posisi
sangat rentan dan tidak dapat menuntut apa-apa. Status anakpun akan menjadi
persoalan di kemudian hari.
Mengingat berbagai
persoalan yang masih membelit perempuan dan anak Indonesia, pada Momentum
Internasional Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan ini, kami ingin mengulang
kembali untuk dilakukannya berbagai upaya yang penting dan sesuai dengan mandat
UU No. 7 tahun 1984 dalam Pasal 2 poin f yang mewajibkan negara "Membuat peraturan-peraturan yang tepat, termasuk
pembuatan UU, untuk mengubah dan menghapus UU, peraturan-peraturan
kebiasaan-kebiasaan , dan praktek-praktek yang diskriminatif terhadap wanita." Ini
sangatlah penting, sebab seperti yang telah disebutkan dalam salah satu
terminologi kekerasan berbasis gender yang mana meski dengan adanya persetujuan
dan dalam kondisi bebas memilih, namun perlu diteliti apakah ia dalam kondisi
sadar akan dampak yang mungkin terjadi, maka hal tersebut telah dapat
dikategorikan sebagai kekerasan berbasis gender..
Selamat Hari Anti
Kekerasan terhadap Perempuan, dan selamatkan hidup perempuan dan anak Indonesia
dari praktek yang diskriminatif dan kekerasan berbasis gender.

Lembaga Partisipasi
Perempuan (LP2)
Contact
Person:Adriana Venny (Badan Pembina) 0856-1090619, Yoke
Sri Astuti (Ketua Badan Pengurus) 021-91049104, Henny Irawati (Manajer
Advokasi) 0812-13563182






























Perlindungan Korban KDRT


KEKERASAN dalam rumah tangga (KDRT) yang dulu dianggap mitos dan persoalan pribadi (private), kini menjadi fakta
dan relita dalam kehidupan rumah tangga. Dengan berlakunya Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) maka persoalan KDRT ini menjadi domain publik.

Sebagian besar korban KDRT adalah kaum perempuan (baca: istri) dan pelakunya adalah suami, walaupun ada juga
korban justru sebaliknya, atau orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah tangga itu. Pelaku atau korban KDRT
adalah orang yang mempunyai hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian dengan suami, dan
anak bahkan pembatu rumah tangga, tinggal di rumah ini. Ironisnya kasus KDRT sering ditutup-tutupi oleh si korban
karena terpaut dengan struktur budaya, agama dan sistem hukum yang belum dipahami. Padahal perlindungan oleh
negara dan masyarakat bertujuan untuk memberi rasa aman terhadap korban serta menindak pelakunya.

UU PKDRT secara substanstif memperluas institusi dan lembaga pemberi perlindungan agar mudah diakses oleh
korban KDRT, yaitu pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya, baik
perlindungan sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan. Di sini terlihat, bahwa institusi dan lembaga
pemberi perlindungan itu tidak terbatas hanya lembaga penegak hukum, tetapi termasuk juga lembaga sosial bahkan
disebutkan pihak lainnya.

Peran pihak lainnya lebih bersifat individual. Peran itu diperlukan karena luasnya ruang dan gerak tindak KDRT, sementara
institusi dan lembaga resmi yang menangani perlindungan korban KDRT sangatlah terbatas. Pihak lainnya itu adalah
setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya tindak KDRT. Mereka diwajibkan mengupayakan
pencegahan, perlindungan, pertolongan darurat serta membantu pengajuan permohonan penetapan perlindungan baik
langsung maupun melalui institusi dan lembaga resmi yang ada.

Dilihat dari stelsel hukum pidana, tindak KDRT ini adalah tindak kekerasan sebagaimana diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yakni tindak pidana penganiayaan, kesusilaan, serta penelantaran orang yang
perlu diberi nafkah dan kehidupan. Lalu mengapa masih diperlukan UU PKDRT?

Memang, tindak kekerasan yang diatur dalam PKDRT ini mempunyai sifat khas/spesifik, misalnya peristiwa itu terjadi di
dalam rumah tangga, korban dan pelakunya terikat hubungan kekerasan atau hubungan hukum tertentu lainnya, serta
berpotensi dilakukan secara berulang (pengulangan) dengan penyebab (causa) yang lebih kompleks dari tindak
kekerasan pada umumnya. Itu sebabnya, tindak kekerasan ini lebih merupakan persoalan sosial yang tidak hanya dilihat
dari perspektif hukum. Penyelesaiannya harus dilakukan secara komprehensif, melalui proses sosial, hukum, psikologi,
kesehatan, dan agama, dengan melibatkan berbagai disiplin, lintas institusi dan lembaga.

Bagaimanakah bentuk dan cara perlindungan itu, serta bagaimanakah hubungan masing-masing institusi dan lembaga
pemberi perlindungan itu secara konkret dan faktual di lapangan? Itulah pokok persoalan yang perlu dibahas lebih lanjut.
Yang lebih penting lagi adalah bagaimana persoalan itu dipahami oleh masyarakat luas sehingga cita-cita yang hendak
dicapai oleh legislator yang terkandung dalam UU PKDRT dapat terwujud sesuai harapan.

Bentuk perlindungan

Korban KDRT atau bahkan lembaga pemberi perlindungan itu sendiri belum tentu memahami bagaimana perlindungan
itu didapatkan dan bagaimana diberikan. Bagi korban yang status soseknya lebih tinggi atau institusi dan lembaga yang
tugas dan fungsinya selaku penegak hukum, tentu persoalan mendapatkan dan atau memberikan perlindungan itu
bukanlah masalah. Tetapi bagi institusi dan lembaga di luar itu, perlu mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang
cukup serta akreditasi selaku institusi dan lembaga pemberi perlindungan terhadap korban KDRT.

UU PKDRT secara selektif membedakan fungsi perlindungan dengan fungsi pelayanan. Artinya tidak semua institusi dan
lembaga itu dapat memberikan perlindungan apalagi melakukan tindakan hukum dalam rangka pemberian sanksi
kepada pelaku. Perlindungan oleh institusi dan lembaga non-penegak hukum lebih bersifat pemberian pelayanan
konsultasi, mediasi, pendampingan dan rehabilitasi. Artinya tidak sampai kepada litigasi. Tetapi walaupun demikian,
peran masing-masing institusi dan lembaga itu sangatlah penting dalam upaya mencegah dan menghapus tindak KDRT.

Selain itu, UU PKDRT juga membagi perlindungan itu menjadi perlindungan yang bersifat sementara dan perlindungan
dengan penetapan pengadilan serta pelayanan. Perlindungan dan pelayanan diberikan oleh institusi dan lembaga sesuai
tugas dan fungsinya masing-masing:

1. Perlindungan oleh kepolisian berupa perlindungan sementara yang diberikan paling lama 7 (tujuh) hari, dan dalam
waktu 1 X 24 jam sejak memberikan perlindungan, kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari
pengadilan. Perlindungan sementara oleh kepolisian ini dapat dilakukan bekerja sama dengan tenaga kesehatan, sosial,
relawan pendamping dan pembimbing rohani untuk mendampingi korban. Pelayanan terhadap korban KDRT ini harus
menggunakan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian dengan sistem dan mekanisme kerja sama program
pelayanan yang mudah diakses oleh korban.

Pemerintah dan masyarakat perlu segera membangun rumah aman (shelter) untuk menampung, melayani dan
mengisolasi korban dari pelaku KDRT. Sejalan dengan itu, kepolisian sesuai tugas dan kewenangannya dapat
melakukan penyelidikan, penangkapan dan penahanan dengan bukti permulaan yang cukup dan disertai dengan perintah
penahanan terhadap pelaku KDRT. Bahkan kepolisian dapat melakukan penangkapan dan penahanan tanpa surat
perintah terhadap pelanggaran perintah perlindungan, artinya surat penangkapan dan penahanan itu dapat diberikan
setelah 1 X 24 jam.

2. Perlindungan oleh advokat diberikan dalam bentuk konsultasi hukum, melakukan mediasi dan negosiasi di antara
pihak termasuk keluarga korban dan keluarga pelaku (mediasi), dan mendampingi korban di tingkat penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan (litigasi), melakukan koordinasi dengan sesama penegak
hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial (kerja sama dan kemitraan).

3. Perlindungan dengan penetapan pengadilan dikeluarkan dalam bentuk perintah perlindungan yang diberikan selama 1
(satu) tahun dan dapat diperpanjang. Pengadilan dapat melakukan penahanan dengan surat perintah penahanan
terhadap pelaku KDRT selama 30 (tiga puluh) hari apabila pelaku tersebut melakukan pelanggaran atas pernyataan yang
ditandatanganinya mengenai kesanggupan untuk memenuhi perintah perlindungan dari pengadilan. Pengadilan juga
dapat memberikan perlindungan tambahan atas pertimbangan bahaya yang mungkin timbul terhadap korban.

4. Pelayanan tenaga kesehatan penting sekali artinya terutama dalam upaya pemberian sanksi terhadap pelaku KDRT.
Tenaga kesehatan sesuai profesinya wajib memberikan laporan tertulis hasil pemeriksaan medis dan membuat visum et
repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau membuat surat keterangan medis lainnya yang mempunyai kekuatan
hukum sebagai alat bukti. 5. Pelayanan pekerja sosial diberikan dalam bentuk konseling untuk menguatkan dan memberi
rasa aman bagi korban, memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan, serta
mengantarkan koordinasi dengan institusi dan lembaga terkait.

6. Pelayanan relawan pendamping diberikan kepada korban mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan seorang atau
beberapa relawan pendamping, mendampingi korban memaparkan secara objektif tindak KDRT yang dialaminya pada
tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan, mendengarkan dan memberikan penguatan secara
psikologis dan fisik kepada korban.

7. Pelayanan oleh pembimbing rohani diberikan untuk memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban dan
memberikan penguatan iman dan takwa kepada korban.

Bentuk perlindungan dan pelayanan ini masih besifat normatif, belum implementatif dan teknis oparasional yang mudah
dipahami, mampu dijalankan dan diakses oleh korban KDRT. Adalah tugas pemerintah untuk merumuskan kembali pola
dan strategi pelaksanaan perlindungan dan pelayanan dan mensosialisasikan kebijakan itu di lapangan. Tanpa upaya
sungguh-sungguh dari pemerintah dan semua pihak, maka akan sangat sulit dan mustahil dapat mencegah apalagi
menghapus tindak KDRT di muka bumi Indonesia ini, karena berbagai faktor pemicu terjadinya KDRT di negeri ini amatlah
subur.

Bahwa anggapan orang terjadinya KDRT merupakan akibat dari suatu sebab konvensional seperti disharmonisasi dari
tekanan sosial ekonomi yang rendah, perangai dan tabiat pelaku yang kasar, serta gagal dalam karier dan pekerjaan
ternyata tidaklah sepenuhnya benar, karena KDRT justru acapkali dilakukan oleh mereka yang kondisi sosial ekonominya
baik, sukses karier dan pekerjaannya, bahkan berpendidikan tinggi.

KDRT merupakan multi persoalan, termasuk persoalan sosial, ekonomi, budaya, hukum, agama dan hak asasi manusia.
Upaya menghapus KDRT di muka bumi Indonesia adalah perjuangan panjang bangsa ini, khususnya kaum perempuan
yang rentan menjadi korban KDRT. Upaya sungguh-sungguh itu diharapkan dapat mempengaruhi struktur dan
karakteristik multi persoalan tadi menjadi nilai yang diyakini benar dan dapat memberi rasa aman, tenteram, adil dan
bermartabat bagi keluarga dan bangsa Indonesia.***


Ketutlatri@ymail.com ( P2TP2A Kabupaten Klungkung )
Perjuangan Berat Perempuan Indonesia Menggapai Keadilan
di Tengah Berbagai Keterpurukan

Catatan dan Rekomendasi dari LBH APIK


…..masih dalam pelukan kesedihan karena bencana alam maupun bencana lain akibat kelalaian dan keserakahan manusia, kembali rakyat Indonesia disodori kebobrokan dan setengah hatinya Negara akan keberpihakannya terhadap rakyat kecil. …


A. PENGANTAR

Dalam pertanggungjawaban LBH APIK Jakarta tahun 2006 ini, kami sampaikan bahwa situasi nasional masih sangat memprihatinkan bagi perkembangan hak-hak warga Negara Indonesia dan budaya demokrasi yang mulai tergerus oleh sikap-sikap primordialisme dan fundamentalisme. Khususnya bagi perempuan, tahun ini ditandai dengan munculnya ancaman dan kekerasan yang semakin meningkat yang terjadi di wilayah public. Ditandai dengan maraknya regulasi di berbagai daerah (Perda-perda) yang mengkriminalkan ekspresi perempuan serta pembatasan akses perempuan di public dan haknya untuk bekerja khususnya pada malam hari (kebebasan dasar). Selain itu kekerasan terhadap perempuan tetap berlangsung di wilayah privat, seperti dalam keluarga, dalam relasi perkawinan serta relasi pacaran (ingkar janji, pemaksaan hubungan seksual). Begitupun kasus kasus kejahatan seksual lainnya yang tetap menempatkan perempuan sebagai mayoritas korbannya.

Secara makro, konteks Indonesia saat ini semakin memprihatinkan saja. Selain berbagai bencana alam yang tiada berkesudahan, menimbulkan gelombang penderitaan dan kemiskinan terjadi dimana-mana. Hampir 107,78 juta orang Indonesia (49%) dari total penduduk Indonesia, berada dalam garis kemiskinan dan rentan menjadi miskin.(data laporan Bank Dunia 2006).

Bukan hanya bencana alam dan kemiskinan yang melilit masyarakat kita tapi juga persoalan hukum yang kembali menjerumuskan rakyat Indonesia dalam kondisi yang diskriminatif dan tertindas. Berbagai kebijakan yang dibuat terutama di tingkat lokal alih-alih merespon persoalan yang riil dihadapi sebagian besar masyarakat saat ini, namun yang terjadi justru mengkriminalkan rakyat miskin dan khususnya perempuan miskin yang pada dasarnya korban dari persoalan kemiskinan yang harusnya diatasi oleh pemerintah secara struktural. Saat ini, rakyat/perempuan miskin harus berhadap-hadapan dengan aparat dan menjadi korban kekerasan negara atas dasar penerapan berbagai perda seperti Perda 11/1988 tentang Ketertiban Umum dan Perda 4/2004 tentang Operasi Yustisi, Perda No 8 /2004 Kota Tangerang tentang Anti Pelacuran dan masih banyak lagi Perda-Perda serupa yang sudah ditengarai jumlahnya sudah lebih dari 40 an. Dari hasil kajian proses pembuatan, subtansi, maupun penerapan Perda-perda tersebut, kami melihat banyak menimbulkan masalah, diantaranya korban salah tangkap, di hakimi secara sewenang-wenang yang korbannya mayoritas perempuan, penggusuran orang miskin, dan pedagang kaki lima. Kondisi ini sungguh memprihatinkan, dimana stigmatisasi, ancaman dan kekerasan terhadap perempuan di wilayah publik menjadi semakin meningkat dan ironisnya bersumber serta dilegitimasi oleh aturan / kebijakan yang dibuat pemerintahan setempat.

Padahal, bila dihitung sampai tahun 2005 pemerintah Indonesia telah meratifikasi beberapa Konvenan yang secara subtansi (materi) terkait langsung dengan pelanggaran yang dilakukan oleh subtansi dan penerapan perda-perda tersebut, misalkan tahun 2005 meratifikasi Kovenan hak-hak sipil dan politik dan juga ratifikasi Konvenan Hak Sosial dan Budaya, UU No 39/1999 tentang HAM yang merupakan ratifikasi Konvenan Hak Asasi Manusia, dan rativikasi CEDAW (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan) yang telah disahkan 22 tahun yang lalu, dalam UU No 7 tahun 1984.

Untuk kebijakan nasional, tahun 2006 ini selain diwarnai dengan masih banyaknya peraturan-peraturan yang diskriminatif seperti UU Perkawinan, KUHP dan RUU KUHP, RUU Pornografi dan Pornoaksi serta RUU Kesehatan. Namun ada juga beberapa kebijakan nasional yang berhasil disahkan, yaitu UU Kewarganegaraan, UU Perlindungan Saksi dan Korban, serta UU Administrasi dan Kependudukan, yang tentu saja harus melalui perjuangan yang panjang dan melelahkan melalui lobby dan perang argumentasi. Bahkan sampai disahkannyapun, masih ditemui pasal-pasal yang diskriminatif dari peraturan-peraturan baru tersebut. Saat ini juga masih berlangsung pembahasan RUU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang masih belum sepenuhnya sesuai yang diharapkan.

Untuk lebih jelasnya, di bawah ini, LBH APIK Jakarta akan memaparkan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang secara tidak langsung diakibatkan kondisi-kondisi tersebut di atas, serta upaya-upaya yang dilakukan LBH APIK Jakarta untuk merubah kondisi hukum dan budaya masyarakat yang masih patriarkhi dan bias terhadap masyarakat miskin.


B. FAKTA KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN YANG DITERIMA LBH APIK JAKARTA

Dua tahun diberlakukannya UU Penghapusan kekerasan Dalam Rumah Tangga dan dibukanya layananan yang khusus bagi perempuan korban mempengaruhi catatan kekerasan terhadap perempuan yang datang ke LBH APIK Jakarta. Sepanjang tahun 2006, LBH APIK Jakarta telah menerima pengaduan sebanyak 867 (delapan ratus enam puluh tujuh) kasus dengan klasifikasi sebagai berikut : 465 orang datang langsung, 304 konsultasi melalui telepon dan 98 kasus konsultasi melalui e mail. Jumlah tersebut menurun 20% dari kasus yang datang pada tahun 2005 yaitu 1046 (seribu empat puluh enam) kasus.

Namun angka ini tentu saja bukan gambaran menurunnya angka kekerasan terhadap perempuan, atau tidak lagi membutuhkan dampingan hukum LBH APIK Jakarta. Adanya jaminan perlindungan oleh UU No 23 tahun 2004 tentang PKDRT bisa jadi merupakan indikator yang berpengaruh pada perubahan layanan terhadap perempuan korban, sehingga turut mempengaruhi akses perempuan korban mendapatkan layanan publik serta keberanian perempuan untuk menyelesaikan kasus yang dialaminya. Indikator lainnya keberadaan paralegal yang juga memberikan pelayanan dan dampingan bagi proses hukum perempuan korban.

Kasus-kasus yang dilaporkan ke LBH APIK Jakarta, dengan datang langsung 75% tercatat sebagai kasus kekerasan dalam rumah tangga ( 324 kasus ), 4% ketenagakerjaan(16 kasus), 0,5% kasus keperdataan (8 kasus keperdataan) ,8% sengketa pelaksanaan putusan hak anak dan istri pasca perceraian( 30 kasus), 7% kasus ingkar janji dalam hubungan pra-nikah (23 kasus),0,25% kasus perkawinan di bawah tangan (4 kasus ) dan 7% kasus kejahatan seksual (24 kasus).

Melihat dari jumlahnya, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan kasus yang paling banyak dilaporkan, sementara itu kasus sengketa pelaksanaan putusan pengadilan pasca perceraian, ingkar janji dalam hubungan pra nikah serta kejahatan seksual yang semula takut dilaporkan saat ini sudah mulai berani dilaporkan.
Menilik sistem hukum yang berlaku di indonesia, Ketiga kasus tersebut tergolong kasus yang masih lemah perlindungannya, sementara itu dalam kehidupan masyarakat perempuan yang mengalami kasus tersebut juga masih mengalami kekerasan dalam bentuk stigma yaitu sebagai perempuan yang “tidak baik”. Realitas ini yang membuat perempuan sulit mendapatkan perlindungan hukum, padahal saat ini indonesia telah meratifikasi Konvensi Anti Diskriminasi terhadap perempuan (UU No 7 tahun 1984), sehingga keberadaan stigma dan masih adanya perlakuan diskriminatif bagi perempuan dimata hukum menjadi bertentangan dengan UU tersebut.

1. Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga
Sepanjang mendampingi perempuan korban, kekerasan yang muncul meningkat dan kekerasan yang selama ini tidak dilaporkan mulai dilaporkan. Seperti kasus yang dialami Ny .MM. yang mendapatkan 3 kekerasan yaitu fisik, psikis dan ekonomi, ia yang semula hanya melaporkan kekerasan fisik yang dialami, setelah mengetahui kalau kekerasan psikis dan ekonomi juga mendapatkan perlindungan dan diakui oleh UUPKDRT, maka ia memutuskan untuk menuntut kekerasan psikis dan ekonomi yang dialaminya di tingkat penyidikan. Tetapi pihak kepolisian dan kejaksaan sejauh ini belum pernah merespon atau memasukkan jenis kekerasan tersebut dalam tuntutannya, artinya ia masih memahami bentuk kekerasan selalu bersifat fisik yang dapat dibuktikan dengan visum et repertum. Sedangkan kekerasan psikis yang sebenarnya dapat dibuktikan dengan visum psikiatrikium dinisbikan keberadaannya. Hal yang sama juga pada kekerasan ekonomi yang dianggap belum memiliki alat bukti yang dapat membuktikan kebenarannya.
Kasus kekerasan dalam rumah tangga merupakan kasus yang paling banyak masuk ke LBH APIK jakarta yaitu berjumlah 324 kasus, dengan perincian sebanyak 101 kasus kekerasan dalam rumah tangga yang disertai dengan kekerasan fisik, sebanyak 221 kasus lainnya adalah bentuk kekerasan psikis dan ekonomi, dan 2 kasus termasuk dalam kekerasan seksual.

Dari 324 kasus KDRT yang masuk tersebut, ternyata kekerasan terbesar yang terjadi sepanjang tahun 2006 ini adalah kekerasan psikis dan ekonomi. Hal ini menunjukkan adanya tingkat kesadaran korban bahwa bentuk kekerasan tidak hanya fisik, psikis dan juga ekonomi. Selain itu tingginya angka pengaduan, mengindikasikan adanya peningkatan kesadaran perempuan bahwa KDRT bukan lagi masalah privat atau aib yang harus disembunyikan tetapi kejahatan terhadap kemanusiaan yang harus diselesaikan secara hukum.Walaupun jumlah kasus KDRT ini cukup besar, namun ternyata hanya 35 kasus yang dilaporkan ke kepolisian, sedang sisanya diselesaikan secara kekeluargaan atau dengan perceraian. Hal ini sangat bertolak belakang dengan temuan data LBH APIK Jakarta dari hasil analisa berita (Kompas, Pos Kota, Warta Kota) yang menemukan sebanyak 104 kasus KDRT, 102 diantaranya diproses secara pidana, dan selebihnya dua kasus diselesaikan secara kekeluargaan dengan melibatkan aparat desa.

Faktor penyebab utama, mengapa para korban yang melaporkan kasusnya di LBH APIK Jakarta memilih tidak memproses kasusnya secara hukum, diantaranya adanya ketergantungan ekonomi terhadap pelaku, ketakutan mendapatkan perlakuan lebih kejam dari sebelumnya, menjaga nama baik keluarga dan lain sebagainya. Faktor lainnya yang menjadi alasan korban memilih bercerai, yaitu suami pengangguran sehingga tidak ada yang bisa diharapkan lagi, suka menghina dan memukul. Selain itu jika korban telah memiliki kemandirian ekonomi, yang biasanya merasa bahwa dirinya tidak perlu mempidanakan suami lagi, karena dianggap sudah tidak ada manfaatnya.
Sedangkan yang seringkali menjadi faktor utama kasus KDRT tidak diproses hukum adalah adanya kekhawatiran korban akan proses hukum dan sistem hukum yang tidak berpihak kepada korban. Hal ini menyebabkan korban mengalami ketidakjelasan hukum, fakta dilapangan menyebutkan ada kecenderungan ringannya hukuman bagi pelaku sehingga menjadi tidak seimbang dengan penderitaan yang dialami korban.
Adapun kasus KDRT (fisik dan psikis) yang sudah sampai ke Pengadilan Negeri ada 4 kasus, 1 kasus diputus di PN Cibinong dengan vonis 3 bulan 10 hari, 1 kasus diputus di PN Karawang dengan vonis 6 bulan, 1 kasus diputus di PN Depok dengan vonis 2 bulan dan 1 kasus diputus di PN Jakarta Timur dengan vonis 3 bulan.

Tingkat Kepolisian
Setelah diberlakukannya UUPKDRT setiap kasus yang diadukan kekepolisian selalu mendapat tanggapan positif, yaitu sikap aparat yang selalu proaktif menginformasikan tentang Keberadaaan UU tersebut. Seperti yang dialami Ny D di Karawang, yang mengadukan suaminya sehingga ditahan dan divonis PN Karawang 6 bulan.
Tahun 2006 ini, tidak ada lagi aparat kepolisian yang menolak laporan kasus KDRT dengan alasan masalah rumah tangga. Pasal-pasal dalam UU PKDRT juga sudah mulai digunakan, walaupun di beberapa polsek di Jabotabek ini masih ada yang menggunakan pasal dalam KUHP.
Dalam pemberian layanan, selain respon positif , juga masih terdapat kekurangan yaitu disaat proses pemeriksaan terhadap pelaku, pihak kepolisian masih bertindak kurang cepat dan masih menganggap bahwa masalah KDRT adalah bukan masalah besar. Keberadaan RPK (Ruang Pelayanan Khusus) juga masih belum dimanfaatkan secara profesional, hal ini dibuktikan dengan masih adanya sikap aparat yang kurang sensitif, kurang memberikan dukungan bagi korban terutama pada saat pemeriksaan pelaku yang sering kali menunda atau bahkan tidak melakukan pemanggilan dengan upaya maksimal.
Bahkan salah satu kasus yang dialami Ny. Gb, pihak kepolisian justru memfasilitasi suami untuk melakukan kekerasan psikis dan ekonomi. Hal tersebut dilakukan dengan cara suami melaporkan istrinya melakukan KDRT, dan meminta agar istrinya ditahan oleh kepolisian. Apabila tidak ingin ditahan maka istri harus menandatangani surat pernyataan yang berisi bahwa istri harus menyerahkan seluruh penghasilannya kepada suami dan istri akan melayani suaminya kapanpun.

Kejaksaan
Dalam menangani kasus Jaksa Penuntut Umum (JPU) masih bersikap membatasi dirinya untuk menggali informasi dari korban, sehingga fakta-fakta yang terungkap di pengadilan pun tidak maksimal. Dalam beberapa kasus, JPU juga tidak berupaya untuk menghadirkan saksi ahli seperti dokter atau psikolog untuk mengetahui beratnya luka korban. Karena tidak maksimalnya fakta yang dapat diungkap dalam persidangan mengakibatkan JPU pada akhirnya menjatuhkan tuntutan yang ringan. Tuntutan yang ringan ini, jelas tidak mewakili rasa keadilan bagi korban, padahal JPU adalah aparat yang mewakili korban di persidangan. Atau bahkan JPU tidak berupaya melakukan penuntutan ketika korban menyatakan dirinya juga mengalami kekerasan psikis dan ekonomi.

Hakim
Dalam memeriksa kasus KDRT di pengadilan, hakim juga tidak bersikap maksimal dalam menggali fakta-fakta untuk memperberat hukuman bagi pelaku. Hakim tidak melihat laporan korban sebagai upaya penegakan hukum untuk mendapatkan keadilan. Dalam persidangan kasus KDRT ini, tidak jarang hakim bertindak sebagai hakim yang memimpin sidang perdata, yaitu mendamaikan rumah tangga. Bahkan satu kasus di Bekasi, Hakim tidak memahami filosofi UUPKDRT, sehingga justru menghukum lebih berat dari tuntutan jaksa kepada perempuan korban kekerasan yang melawan kekerasan yang dialaminya dengan kekerasan. Putusan Pengadilan tersebut tentu saja telah menodai pemberlakuan UUPKDRT yang seharusnya melindungi istri, namun justru sebaliknya.
Sikap-sikap aparat demikian menunjukkan wajah struktur hukum kita yang memandang sebelah mata atas kekerasan yang dialami perempuan, aparat penegak hukum kita tidak dapat membedakan bagaimana kekerasan terhadap perempuan berlangsung dan pada saat yang bagaimana harus menyatakan seseorang harus ditahan dan dinyatakan bersalah hingga harus dihukum.

2. Kekerasan seksual
Sepanjang tahun 2006 ini, LBH APIK Jakarta melakukan pendampingan hukum terhadap 24 kasus kekerasan seksual, dengan perincian 4 kasus pelecehan seksual, 4 kasus pencabulan 15 kasus perkosaan dan 1 kasus percobaan perkosaan.
Kasus kekerasan seksual yang sampai kepada putusan di Pengadilan Negeri ada 4 kasus yaitu 2 di Bekasi dan 1 di Depok serta 1 kasus di jakarta Utara.

Sedangkan dari hasil analiasa berita LBH Apik Jakarta (Kompas, Pos Kota, Warta Kota) menemukan sebanyak 200 kasus, dari jumlah tersebut sekitar 80 persennya dilakukan oleh orang yang dikenal baik korban, yaitu orang tua, kakak, adik, kakek, paman, tetangga, teman main, pacar, majikan, dukun, guru, guru ngaji, Tukang ojek yang telah menjadi langganan. Dan hanya sekitar 18 kasus atau 20 persennya dilakukan oleh orang yang sama sekali tidak dikenal oleh korban.Untuk kasus Incest (masih ada hubungan sedarah) pada tahun ini masih terjadi bahkan jumlahnya relatif besar, yaitu sebanyak 26 kasus.

Kepolisian
Pengalaman mendampingi kasus kekerasan seksual, pada saat berhubungan dengan RPK, pelayanannya kurang berperspektif korban, misalnya pada saat mendampingi seorang sekertaris yang mengalami kasus pelecehan seksual dan perkosaan sebanyak 4 kali. Petugas RPK meragukan apakah kejadian perkosaan bisa berulang sampai 4 kali? Sikap RPK yang demikian telah membuat korban merasa tidak nyaman dan membuat korban merasa putus asa dengan proses hukum yang dijalaninya.

Kejaksaan
Pihak kejaksaan dalam mengajukan kasusnya ke Pengadilan Negeri terkadang terkesan kurang serius, hal ini seperti fakta kasus yang dialami Nel, dimana kasus pelecehan seksual yang dialaminya tidak dimasukkan dalam tuntutan jaksa. Begitu juga dengan kasus pencabulan yang dilakukan S.S terhadap AN (4), Dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Bekasi, Jaksa Penuntut Umum W meminta kepada keluarga korban uang sebesar 1 Juta rupiah untuk menyelesaikan kasus ini. Sikap JPU yang seperti ini membuat korban menjadi tidak percaya akan keadilan, korban akhirnya beranggapan bahwa hukum dapat dibeli. Karena terdakwa dianggap melanggar Pasal 81 ayat 1 UU No 23 tahun 2002, maka Jaksa akhirnya menuntut terdakwa dengan tuntutan10 tahun penjara, namun Hakim akhirnya hanya menjatuhkan hukuman 3 Tahun kepada S.

Begitu juga dengan kasus pemerkosaan yang dialami R yang diperkosa oleh orang yang tidak dikenal. Kondisi korban yang tidak dapat membaca menulis, mengingat tempat kejadian serta tidak dapat memprediksi ancaman dan mencari pertolongan, dijadikan sebagai alasan jaksa untuk membuat proses penyidikan menjadi lambat dan memakan waktu cukup lama. Hingga persidangan yang berjalan kurang lebih 6 bulan, dan dengan seringnya interaksi antara penyidik dengan korban ternyata masih sulit membukakan mata dan pandangan penyidik untuk memahami kondisi trauma korban yang dapat dikategorikan berat.

Kasus perkosaan lainnya dialami oleh F seorang anak jalanan dikawasan stasiun kota yang diperkosa oleh D yang mengaku sebagai Polisi, pada bulan september 2006 di stasiun kampung Bandan Jakarta Utara. Penyidik kasus ini seorang laki-laki (bukan polisi), namun telah dilatih secara khusus untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan, sehingga dengan sikapnya yang sangat profesional itu mampu memberikan rasa nyaman dan aman pada korban selama proses berlangsung. Kasus yang saat ini sedang di sidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara itu kini telah memasuki agenda acara tuntutan oleh JPU (18 Januari 2006). Selain sikap penyidik yang sangat profesional, proses persidangan kasus ini juga mendapat respon yang cukup positif dari pihak hakim, yang juga memiliki keberpihakan pada korban. Sehingga membuat proses sidang tidak kaku, bahkan atas pertimbangan trauma korban hakim tidak mengharusnya korban datang dan mengikuti jalannya persidangan.


3. Kasus Ingkar Janji
Salah satu kasus yang cukup meningkat di tahun 2006 ini adalah kasus ingkar janji menikah. Tercatat ada 23 kasus, jumlah ini mengalami peningkatan dari tahun 2005 yang hanya berjumlah 15 kasus. Pelaku dari kasus ingkar janji ini datang dari berbagai kalangan termasuk dari kalangan oknum TNI dan Polri. Yang menyedihkan dari jumlah tersebut, tidak ada satupun yang dapat diselesaikan melalui jalur hukum.
Selama ini apabila dilaporkan ke pihak kepolisian, pihak kepolisian selalu menolak dengan alasan tidak ada pasal dalam undang-undang yang dapat dipakai untuk menjerat pelaku, kecuali korban adalah anak di bawah umur.

Korban dari kasus ingkar janji ini, tidak hanya kehilangan harga dirinya, tetapi banyak juga yang telah mempunyai anak dan ditelantarkan begitu saja. Salah satu kasus yang sampai saat ini belum selesai prosesnya adalah seorang perempuan dari Aceh yang telah mempunyai seorang anak dari seorang anggota TNI. Menurut korban peristiwa tersebut berawal saat anggota TNI tersebut bertugas di Aceh, bertemu dengan korban lalu berpacaran dan berjanji akan menikah, namun ketika hubungan sudah jauh sampai membuahkan seorang anak, oknum tersebut tidak bertanggung jawab dan melarikan diri. Meskipun kasus ini telah dilaporkan ke atasan tersangka, namun hingga saat ini tidak ada tindakan yang jelas dari pihak kesatuannya.

Sikap aparat kepolisian ini terkait dengan paradigma kejaksaan untuk menjerat pelaku yang melakukan ingkar janji nikah setelah melakukan hubungan seksual.
Kasus ingkar janji sarat dengan opini, stereotyping dan bias gender, sehingga menyebabkan sulitnya proses hukum yang akan dijalani. Para aparat hukum selalu beranggapan bahwa kasus ingkar janji dilakukan atas dasar suka sama suka. Sehingga membuat laki-laki bebas dari tanggung jawab, apalagi dalam KUHP tidak mengatur kasus ini sebagai sebuah tindak pidana, bahkan dalam pasal 1365 KUHPerdata disebutkan seseorang tidak diperbolehkan melakukan perjanjian berdasarkan klusula yang tidak halal. Sikap aparat maupun aturan yang ada jelas bertentangan dengan pasal 2 UU No 7 tahun 1984 tentang ratifikasi CEDAW. UU No. 7 tahun 1984 mewajibkan negara untuk merubah hukum nasional yang diskriminatif atau yang dampaknya diskriminatif dengan hukum nasional yang tidak bias gender serta mengupayakan adanya atutran perlindungan dari diskriminasi.

Sebagaimana kita ketahui bersama, paradigma masyarakat Indonesia menganggap sebuah hubungan seks di luar perkawinan sebagai tindakan asusila, sehingga perjanjian yang dilakukan tanpa adanya pernikahan tidak dapat dijadikan sebagai janji yang harus dipenuhi. Dalam diskusi internal yang diselenggarakan oleh LBH APIK, mengundang seorang hakim senior Bapak Ridwan Mansyur bahwa penanganan kasus ingkar janji bergantung pada kebutuhan korban dan paradigma berpikir aparat penegak hukum yang tidak bias gender.

Faktanya, memang banyak perempuan korban ingkar janji akhirnya tidak ingin meneruskan kasusnya hingga jenjang pernikahan seperti yang dijanjikan karena kesadaran bahwa pelaku akan melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Bahkan ada yang lebih memilih untuk sebatas pengakuan anak yang lahir dalam hubungan tersebut. Dengan perkataan lain bahwa kasus ini sebenarnya dapat ditangani dengan beberapa syarat : aparat penegak hukum telah memiliki sensitifitas terhadap perempuan korban dan berkemauan untuk melakukan perlindumgan terhadap korban dan atau anak yang lahir kemudian.

Kasus lain yang tergolong berat, seorang perempuan korban yang mengupayakan pernikahan, namun oleh calon suaminya malah dilaporkan ke polisi. Korban bernama Lc, gadis 17 tahun dilaporkan ke polisi karena menjadikan barang-barang milik calon suaminya sebagai jaminan agar tersangka bersedia menikah dengannya, karena tidak terima dengan tuntutan korban tersangka malah melaporkan kasus tersebut ke polisi dengan tuduhan pencurian. Kasus tersebut akhirnya diproses di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan yang cukup memprihatinkan bagi korban, karena hakim lebih berpihak kepada pelapor (tersangka).

4. Kasus Ketenagakerjaan
LBH APIK jakarta pada tahun ini menerima 16 kasus yang berkaitan dengan kasus ketenagakerjaan dengan perincian 1 kasus mutasi sepihak, 1 kasus kejahatan dalam jabatan, 3 kasus peraturan perusahaan yang merugikan, 2 kasus upah yang tidak dibayar, 1 kasus berkaitan dengan jasa tenaga kerja, 3 kasus PHK sepihak dan 5 kasus Tenaga Kerja Wanita di luar negeri. Untuk kasus buruh migran, LBH APIK Jakarta bekerja sama dengan lembaga lain yang lebih konsen dengan masalah ini.

Dalam kasus PHK sepihak, pada tahun ini ada 3 kasus yang didampingi oleh LBH APIK Jakarta, salah satunya terjadi di Tangerang. Pada saat korban melahirkan korban menjadi pasien dari rumah sakit tempat dia sekarang bekerja. Kemudian pekerja mengetahui bahwa foto kenang-kenangan dari pihak rumah sakit ternyata bukan foto-foto anaknya. Pekerja menjadi ragu bahwa ada kasus tertukarnya bayi dalam rumah sakit tersebut. Ketika pekerja menanyakan masalah ini ke pihak rumah sakit, mereka seolah-olah tidak serius dan berusaha menutup-nutupi. Semenjak pekerja menanyakan masalah bayinya tersebut, sikap pengusaha terhadap dirinya menjadi berbeda dan ujungnya adalah PHK yang dilakukan secara tiba-tiba. Kasus ini agak sedikit unik, yang pertama karena PHK dilakukan tanpa alasan yang jelas, kontrak kerja tidak diberikan oleh pihak pengusaha, serta cerita sebelum PHK dilakukan.Karena mediasi mengalami jalan buntu, pihak rumah sakit bersikap tertutup, maka kasus ini telah dilaporkan ke Dinas Tenaga Kerja Tangerang, tapi sayangnya, Disnaker pun bekerja sangat lambat dan tidak profesional, karena sampai saat ini kasus tersebut belum ada tindak lanjutnya.

Sedangkan, hasil Analisa Berita yang dilakukan LBH APIK Jakarta (Warta Kota, Pos kota Dan Kompas) tahun 2006, mengenai kasus buruh mencatat sebanyak 33 kasus, 9 kasus terjadi didaerah Cikarang, depok dan Jakarta. Dari 33 kasus tersebut terdapat 19 kasus masalah kesejahteraan, dan 14 kasus PHK buruh.

5. Kasus Komprehensif
Dari kasus-kasus yang ditangani, LBH APIK Jakarta mengambil salah satu isu yang ditangani secara komprehensif. Kasus komprehensif ini dilakukan dengan bekerjasama dengan JAKER PKTP (Jaringan Kerja Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan) yang terdiri dari lembaga dan individu yang bekerja pada penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. LBH APIK Jakarta bersama JAKER PKTP mengadakan Diskusi Publik dengan mengambil tema “Menuju Penanganan Kasus Kekerasan terhadap PRT yang Berkeadilan bagi Korban”, dengan tujuan memberikan memberikan gambaran tentang kondisi penanganan kasus kekerasan terhadap PRT termasuk kendala yang dialami oleh masing-masing pihak,membangun komitmen dan kerjasama antara pendamping korban, aparat penegak hukum, pemerintah dan masyarakat untuk mengatasi kendala tersebut. Tema ini kami angkat dalam kasus komprehensif karena banyaknya kasus-kasus yang menimpa pekerja rumah tangga (PRT), terutama karena tidak pernah mendapat perlindungan secara pasti dari negara, bahkan jaminan hak-hak dasar bagi pekerja disektor formal terasebut tidak tercakup didalam undang-undang ketenagakerjaan.

Dengan hadirnya Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga sejak 22 September 2004 telah memberikan harapan baru dengan dimasukkannya PRT dalam ruang lingkup UU PKDRT, akan tetapi yang menjadi kendala pelaksanaan UU tersebut masih belum maksimal dan menemui banyak hambatan yang antara lain: 1) masih banyaknya kasus PRT yang tidak dilaporkan, disebabkan oleh kurangnya pemahaman terhadap hak-hak PRT sebagai pekerja, terbatasnya akses PRT untuk melapor kekerasan yang dialami. 2) belum tersosialisasinya secara maksimal tentang UU PKDRT, 3) adanya stigma masyarakat yang negatif terhadap PRT dan kurang mempedulikan hak-hak PRT.

Dalam diskusi publik tersebut juga menegaskan bahwa PRT adalah pekerja Rumah tangga artinya orang yang bekerja dan berhak terhadap upah, bukan sebagai pembantu yang hanya membantu dan hak-haknya tidak terlindungi sebagai seorang pekerja.
Hasil dari diskusi publik diperoleh rekomendasi yang antara lain:1) kepada pemerintah agar secepatnya dapat mengesahkan RUU PRT untuk terjaminnya hak-hak PRT dari segala kekerasan, 2) kepada aparat penegak hukum agar dapat mengembangkan tereobosan hukum untuk mengatasi dan memberikan perlindungan hukum terhadap kasus-kasus PRT, 3) kepada masyarakat agar memberikan dukungan terhadap korban dan mengubah stigma negatif yang melekat pada PRT di masyarakat.

6. Kasus Pidana Lain
LBH APIK bekerjasama dengan Imparsial menjadi pengacara kasus pencurian yang disangka dilakukan oleh Demas. Alasan LBH APIK mau membantu menyelesaikan kasus ini karena pertama Demas merupakan anak jalanan perempuan yang juga merupakan konstituen LBH APIK, kedua Demas menjadi korban kesewenang-wenangan Polisi. Polisi tanpa bukti yang cukup melakukan penahanan, dan penangguhan penahanan dapat dikabulkan apabila Demas memberikan jaminan uang sebesar Rp 10.000.000,-. Aparat Kepolisian memanfaatkan JPIC sebagai lembaga yang melindungi anak-anak jalanan termasuk Demas untuk memberikan jaminan sebesar itu untuk penangguhan penahanan. Proses persidangan belangsung sekitar 6 bulan . JPU menggunakan pasal 363 jo 362 KUHP untuk menuntut Demas. Tuntutan yang diajukan JPU terhadap terdakwa Demas selama 3 bulan 15 hari. Pada akhirnya Hakim memberikan putusan bebas murni kepada Demas. Jadi apa yang menjadi dakwaan JPU tidak dapat terbukti. Saat ini JPU mengajukan kasasi untuk kasus ini. Penting untuk dicatat adalah proses peradilan pidana benanr-benar dibongkar atas adasar apa Demas diajukan ke persidangan, sementara tidak saksi dan barang bukti yang mendukung, hingga akhirnya Hakim dapat melihat bahwa Demas memang tidak bersalah.

7. Kasus dugaan adanya trafficking
Kasus ini merupakan “PR” berat karena menyangkut banyak pihak. Terutama perempuan yang menjadi korban trafficking identitasnya belum diketahui secara jelas. Dugaan tersebut muncul berawal dari laporan RS yang menjadi korban sebuah jasa perekrutan Duta Seni ke Jepang, RS sadar telah tertipu karena dari proses rekruitmen menjadi duta seni, ia justru tidak di training sebagai layaknya duta seni, yakni belajar seni apalagi seni tari tradisional, akan tetapi malah diberi pelatihan merawat tubuh. Bahkan, tes yang dijalani hanya berjejer dan dilihat secara fisik, bukan dengan tarian. Semula RS bersedia karena kondisi ekonomi, suami tidak bekerja, bahkan belakangan diketahui telah mempunyai istri lain. RS kemudian keluar dari sanggar tersebut untuk pulang kampung. RS tidak tahu pasti perempuan yang akhirnya lolos dan berangkat ke Jepang. Sementara, RS sendiri memilih untuk tidak meneruskan keinginannya menjadi duta seni RS saat ini bekerja sehingga tidak siap dengan proses pemeriksaan apabila dilaporkan ke polisi.


KUALITAS LAYANAN HUKUM

Pemberian Layanan Hukum dan Strategi yang Ditempuh di LBH APIK Jakarta

Sebagai sebuah lembaga pelayanan hukum non profit, LBH APIK juga memiliki kendala internal lembaga, yaitu masalah sistem pengaturan mendapatkan ijin beracara yang mahal, menyebabkan berkurangnya jumlah advokat ditahun 2006 yaitu hanya 1 orang yang memiliki ijin beracara, 2 staf ,1 asisten staf dan 2 voulentir. Dengan kondisi tersebut tentu menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi LBH APIK Jakarta untuk tetap memberi pelayanan terbaik dan profesional. Untuk itu diskusi-diskusi yang sifatnya capasity building SDM menjadi agenda utama untuk dilakukan, misalnya diskusi yang mengambil tema “konseling dan mediasi dalam meningkatkan kualitas layanan bagi perempuan korban”, “Terobosan Perlindungan Hukum bagi Perempuan Korban Ingkar Janji dalam Hubungan Pra-nikah”. Selain dengan peningkatan kapasitas SDM, memprioritaskan siapa konstituen yang akan didampingi juga menjadi bagian terpenting, misalkan LBH APIK Jakarta memilih mendampingi perempuan yang miskin dan kasus-kasus yang berdasarkan Gender Struktural.

Strategi berikutnya, yaitu dengan meningkatkan layanan melalui jaringan kerja bersama dalam menangani korban. Jaringan kerja bersama ini bisa beranggotakan individu, instansi pemerintah atau sesama lembaga layanan pendampingan, Lembaga bantuan hukum. Jaringan ini juga dikembangkan melalui komunitas, yaitu dengan mengadakan Pelatihan Pendamping Bantuan Hukum Gender Struktural.

Ditahun 2006 ini LBH APIK Jakarta telah mendampingi sebanyak 125 kasus pidana atau meningkat 30% dibanding tahun 2005 yang hanya berjumlah 97 kasus. Dari 125 kasus yang terjadi dan didampingi di tahun 2006 tersebut 35 kasus diantaranya masih dalam proses di kepolisian, 10 kasus di Pengadilan Negeri, 1 kasus di Pengadilan Tinggi, 1 kasus di Pengadilan Agama, 3 kasus di Mahkamah Militer, 2 kasus di Disnaker, 36 kasus pembuatan draft dan 35 kasus di tingkat mediasi serta 2 kasus di tingkat kasasi diajukan oleh Kejaksaan dalam posisi perempuan korban yang didakwa sebagai pelaku kejahatan diputus bebas murni oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Dalam mendampingi perempuan korban, LBH APIK Jakarta juga menggunakan “lobby” sebagai bagian dari strategi penanganan kasus. Lobby ini biasanya dilakukan kepada aparat penegak hukum (polisi, Jaksa, dan hakim) serta instansi terkait. Selain untuk kepentingan taktis penyelesaian kasus yang sedang didampingi LBH APIK Jakarta, juga untuk kepentingan jangka panjang, yaitu selalu mengingatkan komitmen negara dalam menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Untuk semakin menguatkan strategi ini, biasanya LBH APIK Jakarta bersama jaringan melakukan secara bersama-sama, misalnya saling memberikan dukungan kasus, melalui pengiriman surat ke lembaga hukum yang sedang memproses kasus tersebut.
Kasus Ny. MM korban kekerasan dalam rumah tangga di Jakarta Timur yang mengalami patah tulang hidung akibat dipukul suaminya. Dalam pendampingan tersebut, LBH APIK menggunakan model “lobby penguatan” kepada aparat penegak hukum (kepolisian, kejaksaan) untuk menggunakan UUPKDRT, dan meyakinkan bahwa penggunaan satu orang saksi sudah cukup untuk dapat memproses kasus KDRT, serta pentingnya penahanan tersangka bagi keamanan jiwa korban yang dalam kondisi terancam. Langkah selanjutnya LBH APIK, keluarga korban, serta jaringan kerja LBH APIK memberikan dukungan dan mengingatkan hakim dalam memberikan putusan yang adil.

Karena sifatnya berjaringan, maka secara otomatis LBH APIK Jakarta juga ikut berperan dalam merespon persoalan yang menjadi kepentingan jaringan , misalnya pendampingan kasus-kasus publik diantaranya gugatan citizen law suit kenaikan BBM, Sinta Nuriyah terkait kampanye APP, judicial review Perda No. 8 kota Tangerang, kasus Poso dan di akhir tahun ini bersama dengan kelompok jaringan melakukan gugatan terhadap operasi yustisi.

Mediasi

Selain pelayanan hukum, model dan bentuk pendampingan lain yang dilakukan LBH APIK Jakarta yaitu melalui mediasi. Mediasi ini dilakukan untuk menjawab kebutuhan perempuan bila mengalami hambatan terhadap proses hukum sehingga tidak berpihak kepadanya, misalnya kasus pelaksanaan putusan pengadilan tentang hak nafkah anak dan istri dan kasus perceraian. Kendala yang dihadapi misalnya saat mediasi berlangsung telah berhasil memperoleh satu kesepakatan, namun ketika dibuat draf kesepakatan menjadi “mentah”kembali karena keterlibatan pihak ketiga.
Pelayanan di Pengadilan Agama

Selama ini LBH APIK Jakarta tidak langsung merespon dan mendampingi kasus-kasus perdata seperti perceraian, karena LBH APIK jakarta lebih mengutamakan adanya pemberdayaan perempuan korban. Pemberdayaan ini biasanya berupa penguatan hak-hak perempuan dalam hukum, biasanya berupa pemberian informasi, memberikan dukungan dan support kepada perempuan agar dapat menyelesaikan masalahnya sendiri, serta membantu pembuatan draf gugatan atau jawaban serta mendiskusikan segala proses yang terjadi dalam persidangan. Seperti yang dialami oleh Ny. P , ia menjalani proses persidangan perceraiannya tanpa mendapatkan pendampingan secara langsung dari LBH APIK Jakarta, LBH APIK hanya memberikan penguatan dengan berkirim surat kepada Ketua Pengadilan Agama disaat proses persidangan mendapatkan kendala, yaitu berupa tekanan dari Hakim Pemeriksa Perkara. Surat tersebut isinya sebuah pesan yang mengingatkan hakim agar lebih sensitif terhadap persoalan perempuan dan untuk bersikap adil gender. Proses tersebut direspon baik oleh Hakim yang memeriksa perkaranya, yaitu adanya perubahan sikap Hakim yang lebih baik dengan putusan yang berpihak kepada Ny. P.

Dalam menghadapi pelaku yang anggota POLRI dan TNI, APIK memberikan dampingan dan penguatan bagi istri yang tidak didaftarkan pernikahannya secara dinas ke atasan suami. Terjadi di Polres Jakarta Pusat, Laporan Ny. DM direspon dengan menyidangkan suaminya yang tidak bersedia mendaftarkan pernikahannya. Selain mendapatkan hukuman kurungan selama 15 hari, suami Ny.DM juga diwajibkan untuk segera mendaftarkan pernikahan secara dinas agar istri dan anak mendapatkan haknya. Apabila tidak dilakukan maka diperingatkan istrinya bersama LBH APIK Jakarta akan melaporkannya melalui peradilan umum dengan menggunakan UU No. 23 tahun 2004 tentang PKDRT. Sikap kooperatif dan mendukung keinginan korban dari Pemeriksa Sidang Profesional kepolisian ini menjadi penting dalam memberikan perlindungan bagi istri polisi yang haknya dilanggar.

Dari beberapa contoh kasus diatas, terdapat satu kasus di tahun 2006 ini yang mendapat pendampingan langsung dari LBH APIK di Pengadilan Agama, yaitu perceraian Ibu M di Jakarta Timur, kasus ini mengapa didampingi, karena mempertimbangkan kondisi perempuan korban yang dalam keadaan terancam oleh suaminya, tidak lagi memiliki keluarga serta dari segi ekonomi tergolong miskin.


C. DINAMIKA KONSITUEN DAN PENGALAMAN PENDAMPINGAN KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DI KOMUNITAS

LBH APIK Jakarta melalui divisi Pelatihan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM) telah melakukan upaya pemberdayaan dan penguatan terhadap kelompok konstituen di wilayah kerjanya (Jabotabek), yaitu kelompok perempuan mitra/klien, kelompok perempuan kampung miskin kota, kelompok buruh perempuan, kelompok perempuan/anak yang dilacurkan (PYLA/AYLA) dan kelompok pekerja rumah tangga (PRT). Pemberdayaan dilakukan melalui kegiatan diskusi bersama (outreach), penguatan maupun pelatihan paralegal, diskusi kasus, pemberian informasi hukum dan melibatkan konstituen dalam berbagai kegiatan dan upaya advokasi yang dilakukan LBH APIK bersama jaringannya.

Selain Pelatihan Paralegal, LBH APIK juga melakukan Pelatihan Bantuan Hukum Berbasis Gender kepada Advokat dan pendamping korban, baik di Jakarta maupun di daerah. Hal ini dilakukan karena berangkat dari persoalan masih sedikitnya jumlah advokat yang bersedia melakukan pendampingan hukum Pro Bono dan semakin sedikitnya lembaga pendamping korban. Dari hasil pelatihan tersebut, saat ini aktif Jaringan Kerja Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan anak yang anggotanya berasal dari lembaga peserta pelatihan PHBG, begitu pula dengan di Semarang dan Yogjakarta, terbentuk jaringan kerja penangan kasus kekerasan terhadap perempuan.

Dalam proses pemberdayaan terhadap komunitas LBH APIK Jakarta melalui Divisi Pelatihan dan Pemberdayaan Masyarakat telah melakukan kegiatan pemberdayaan terhadap komunitas dampingan antara lain Pekerja Rumah Tangga, Rakyat Miskin Kota dan Mitra (Klien LBH APIK Jakarta) dengan mengadakan Pelatihan Paralegal. Dimana seorang awam yang bukan berlatar belakang sekolah hukum dibekali pengetahuan soal hukum, dengan harapan lahirnya paralegal yang pada akhirnya dengan pengetahuan yang dimiliki dapat berguna dan bermanfaat dilingkungannya. Kegiatan pemberdayaan tersebut dilakukan dengan prinsip pemberdayaan yang terwujud dalam semangat solidaritas sesama paralegal dan korban. Dari hasil Pelatihan tersebut, saat ini LBH APIK Jakarta telah memiliki 71 paralegal dengan kelompok yang berbeda, yaitu 14 paralegal dari Kelompok Miskin Kota, 26 Paralegal Mitra dan 31 Paralegal Pekerja Rumah Tangga. Meskipun peran mereka barangkali belum memenuhi harapan dari perempuan pencari keadilan yang membutuhkan paralegal, paling tidak dari proses evaluasi dan monitoring yang dilakukan terungkap bahwa sebagian dari mereka telah berperan melakukan pemberdayaan sesuai dengan kapasitas mereka di lingkungan masing-masing. Dalam kegiatan pemberdayaan ini khususnya kepada paralegal ditekankan bahwa pendampingan terhadap korban yang mereka lakukan adalah wujud solidaritas sesama perempuan korban sementara itu penangan kasus yang dilakukan adalah Penanganan Kasus Berbasis Komunitas serta mendorong paralegal untuk melakukan terobosan-terobosan hukum dalam proses pendampingan yang dilakukan.


Kelompok Perempuan Kampung Miskin

Di tahun 2006, masyarakat miskin kota di DKI Jakarta kembali diusik dengan adanya perlakuan yang diskriminatif yang didasarkan pada pelaksanaan Perda 4/2004 tentang Operasi Yustisi. Pelaksanaan perda ini berdampak pada penahanan sejumlah orang miskin tanpa alasan yang jelas. Perda ini di perketat pemberlakuannya ketika menjelang lebaran dan setelah lebaran. Ada pun alasan pemberlakuannya adalah untuk mengurangi jumlah pendatang yang berurbanisasi ke Jakarta. Bagaimanapun kerasnya larangan tersebut, ketika ada kesenjangan antara kota dan desa, atau daerah dan pusat, maka urbanisasi masih saja akan terus berlangsung. Dan Jakarta sebagai pusat pemerintahan sekaligus kota modern tidak bisa tidak harus menerima dampak tersebut. Justru yang harus dilakukan adalah bagaimana Jakarta seharusnya terbuka dan memberikan jaminan bagi setiap orang yang tinggal maupun yang datang untuk dapat menggunakan hak aksesibilitas kota tersebut. Bukankah melarang orang untuk tinggal di suatu wilayah tertentu bertolak belakang dengan UUD 1945 (Pasal 28 D ayat 1) dan Kovenan Hak-Hak Ekosob. Tidak hanya pelaksanaan Operasi Yustisi yang dilakukan oleh Pemda DKI Jakarta, namun juga adanya anggapan bahwa orang miskin sebagai pengganggu ketertiban umum dan keindahan kota. Bahkan anggapan ini dilegitimasi melalui Perda 11/1988. Dalam pelaksanaannya pun, Pemda DKI Jakarta memberikan wewenang pada Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) untuk menjadi eksekutor pelaksanaan Perda 11/1988. Wewenang inilah yang kemudian lemah sistem kontrolnya, sehingga dalam prakteknya, seringkali ditemui tindakan kekerasan yang semena-mena dari Satpol PP ini terhadap warga miskin kota di Jakarta. Tindakan kekerasan seperti memukul, memaksa, menyeret, menggunduli, menyita, tidak memberikan keterangan jelas sampai memperkosa hampir mewarnai setiap operasi/razia penertiban yang dilakukan oleh Satpol PP. Hal ini telah mengidikasikan adanya pelanggaran HAM (melanggar UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia) dan bertentangan dengan Perda itu sendiri. Yang perlu diingat adalah bahwa Satpol PP bukan penyidik yang sama seperti Polisi yang memang telah jelas diatur kewenangannya dalam KUHAP dan mempunyai kemampuan/keahlian untuk menyidik.

Kondisi tersebut di ataslah yang kemudian menjadi pintu masuk melakukan penguatan di komunitas perempuan miskin kota. Diawali dengan Outreach di Kampung Marlina pada tanggal 1 november 2006 yang dihadiri tidak saja warga dari Kampung Marlina, tetapi juga warga dari Penjaringan, Pademangan, Kebun Tebu, Cengkareng, Kalibaru, Bambu Larangan, Pulo Gadung dan Cipinang Besar. Setelah diskusi tersebut, maka disepakati untuk melakukan serangkaian aksi, antara lain mengadu ke KOMNAS HAM tentang tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Satpol PP dan pihak terkait lainnya dalam hal melakukan operasi/razia. Selain itu juga mengajukan Gugatan Citizen Law Suit oleh 8 korban Operasi Yustisi dan Razia Ketertiban Umum.

Dalam kondisi seperti inilah seringkali peran Paralegal Perempuan Miskin Kota ikut berperan menularkan pengetahuan akan hak-hak sebagai warga masyarakat. Berangkat dari dinamika di komunitas, dan berdasarkan dari monitoring dan evaluasi yang dilakukan secara rutin, terlihat bahwa dalam kurun waktu satu tahun (2006), Paralegal rakyat miskin kota banyak aktif dalam melakukan pendampingan kasus yang berbasis komunitas dan mengupayakan terobosan-terobosan hukum sebagai solusinya. Paralegal rakyat miskin kota menjadi paralegal yang memang sedikit berbeda, hal ini dikarenakan mereka berangkat dari kasus yang sama --dalam hal ini kasus operasi yustisi dan ketertiban umum serta hak aksesibilitas kota--.

Dalam menjalankan keparalegalannya, paralegal perempuan miskin kota bahkan sudah melakukannya dengan kontinyu. Sebagai contoh yakni Paralegal rakyat miskin kota dari komunitas Jakarta Utara. Dalam mendampingi kasus, mereka telah melakukan pencatatan kasus, meskipun ada beberapa posko yang belum mencatat proses pendampingannya. Di posko penanganan kasus KDRT Kampung Marlina, sepanjang tahun 2006 mendampingi 10 kasus, Posko Kampung Muara Elektro mendampingi 13 kasus, Posko Kampung Pademangan 10 kasus, Posko Kali Baru 3 kasus, dan Posko Kolong Tol ada 5 kasus (yang tercatat). Kekhasan paralegal perempuan miskin kota dalam pendampingan kasus yakni mereka menyelesaikan kasus di komunitasnya dengan melibatkan warga dan tokoh masyarakat (berbasis komunutas). Sehingga tidak perlu membawa kasus/persoalan tersebut ke tingkat penegak hukum jika belum terlalu dibutuhkan (misal:diancam mau dibunuh atau korban sudah babak belur). Hal yang menarik lainnya adalah bahwa hampir semua paralegal melakukan upaya penjeraan kepada pelaku dengan membuat sanksi sosial ataupun membuat perjanjian di atas materai yang disaksikan tokoh masyarakat/kampung. Karena mempunyai kemampuan seperti inilah, banyak kasus yang selesai di tingkat masyarakat atau keluarga, sehingga menghemat tenaga, waktu, dan biaya.

Kasus komunitas yang menarik lainnya adalah yang terjadi di Kampung Pademangan. Di kampung ini, ditemukan banyak pasangan suami istri yang tidak mempunyai surat nikah, sementara banyak terjadi kekerasan dalam rumah tangga yang menyebabkan istri ingin bercerai. Bila kasus ini diprose ke Pengadilan Agama, maka pasangan tersebut tidak dapat bercerai karena perkawinannya tidak tercatatat. Jika pun tetap ingin bercerai, maka mereka harus melakukan “itsbat nikah” dengan biaya yang mahal. Dalam kasus ini, paralegal berinisiatif untuk melakukan terobosan hukum dengan cara mengumpulkan pemuka masyarakat, lalu membuat Surat Pernyataan Perceraian antara pasangan tersebut dengan disaksikan masyarakat dan ditandatangani di atas materai. Dengan cara demikian, lingkaran kekerasan yang terjadi pada kasus di atas dapat diputus melalui terobosan hukum yang dilakukan oleh paralgal. Dari pengalaman ini, diharapkan para paralegal dapat lebih mandiri dan meningkatkan kerjasama diantara paralegal untuk bersama-sama menyelesaikan dan mencegah kasus kekerasan terhadap perempuan tanpa tergantung pada lembaga manapun.

Lain halnya yang dilakukan paralegal di Posko KDRT di Kampung Marlina. Satu kasus yang menarik ketika ada seorang perempuan beranak enam yang menikah dengan seorang laki-laki. Namun kemudian, laki-laki ini memaksakan hubungan seksual kepada anak tirinya sendiri (yang mengalami Retradasi Mental) hingga mempunyai anak enam. Perlakuan ayah tiri ini sudah berlangsung kurang lebih 15 tahun. Ibu si anak tidak berani menceritakan kondisinya kepada paralegal, sekali pun suaminya sering melakukan hubungan seksual di depan matanya. Bahkan tindakan tersebut sudah keterlaluan karena laki-laki tersebut terkadang memaksakan keinginannya dan melakukannya di sebuah kandang ayam, sehingga kemudian perbuatan bejat tersebut diketahui oleh masyarakat. Namun korban tetap tidak menganggap suaminya tersebut telah berbuat jahat padanya. Kemudian paralegal dan warga melakukan pendekatan untuk menyadarkan korban, hingga pada suatu hari korban bersedia datang ke posko KDRT dan menceritakan kasusnya kepada paralegal. Ini merupakan suatu kemajuan dalam penanganan kasus di komunitas, karena telah membuat korban berani mengungkapkan apa yang dialaminya. Dari hasil monitoring di Jakarta Utara masih banyak kasus ditemukan paralegal berkaitan dengan surat nikah asli tapi palsu.

Yang menjadi kendala bagi paralegal perempuan miskin kota dalam penanganan/pendampingan kasus, yakni masih minimnya perlindungan dan jaminan keselamatan bagi pendamping. Hal ini dapat dicontohkan dengan kasus yang terjadi di Kampung Elektro, di mana pendamping korban mendapatkan ancaman pembunuhan dari suami korban. Namun, kendala tersebut tidak menyurutkan paralegal RMK dalam menjalankan fungsinya. Hal ini karena dalam setiap penyelesaian kasus, antar paralegal RMK selalu mengadakan komunikasi dan koordinasi, sehingga sikap saling mendukung dan membantu terbangun dengan baik. Sikap solidaritas dan saling mendukung pun terlihat ketika paralegal menghadapi kasus yang terjadi di masyarakat, seperti yang di komunitas Kolong Tol Penjaringan. Ketika terjadi peristiwa kematian seorang anak akibat kemiskinan dan kemudian ditelantarkan oleh bapaknya (yang membawa perempuan lain masuk ke dalam rumah tangga mereka). Maka bentuk solidaritas yang ditunjukkan oleh paralegal dan masyarakat di sana adalah dengan membantu biaya pemakaman dan meminjamkan rumahnya sebagai tempat bagi jenasah bayi yang telah ditolak oleh ayah kandungnya di rumahnya.. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sudah memahami tindak kekerasan, baik itu terhadap perempuan atau pun anak adalah merupakan suatu permasalahan publik, bukan lagi menjadi permasalahan privat. Sehingga semua orang yang mendengar dan atau melihat diharapkan kepeduliannya untuk turut menyelesaikan dan mencegah terjadinya kasus kekerasan tersebut. sebagaimana yang sudah termaktub di UU PKDRT mengenai peran pendamping dan masyarakat. Namun, hal ini janganlah juga dijadikan alasan bagi pemerintah untuk kemudian tidak ikut dalam penyelesaian/penghentian kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Kelompok Mitra/Survivor
Dinamika yang terjadi di paralegal RMK (Rakyat Miskin Kota) belum tergambar di paralegal mitra dan paraegal PRT. Untuk paralegal mitra, fungsi-fungsi keparalegalan sudah mulai dilakukan, tetapi tidak seprogressif dan sedisiplin paralegal RMK. Masih banyak kasus-kasus yang tidak tercatat dan tidak terkomunikasikan dengan bagus, baik antar paralegal mitra ataupun dengan LBH APIK Jakarta. Upaya-upaya terobosan hukum ataupun penyelesaian di tingkat komunitas belum terlalu dilakukan. Berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi, hal ini disebabkan salah satunya karena paralegal Mitra berangkat dari kasus yang mereka alami sendiri, sehingga secara psikologis sebagian dari mereka masih belum bisa mengkondisikan diri sebagai paralegal (mereka masih belum selesai dengan problem internal psikis ataupun ekonomi).

Penguatan lain sadalah melakukan kegiatan kesenian melalui teater. Dalam hal ini, mengalami kemajuan yang bagus, karena latihan teater ini menjadi media mereka dapat mengekpresikan keadaan psikisnya secara bebas dan dapat menyampaikan pula kepada masyarakat bahwa KDRT dan kekerasan terhadap perempuan lainnya harus segera dihentikan. Di tahun 2006 ini, kelompok teater mitra ini, bekerja sama dengan Migran Care dan Rumpun Gema Perempuan ikut berpartisipasi dalam merayakan hari kemerdekaan dengan menampilkan seni teater mengenai kampanye kemerdekaan bagi buruh migran.

Paralegal Pekerja Rumah Tangga
Sedangkan untuk paralegal PRT, selama tahun 2006 ini, mereka baru melakukan pendampingan terhadap 3 kasus. Antara lain, kasus Eni-Eti, PRT yang dituduh mencuri susu sisa majikannya. Namun kasus ini belum selesai karena korban kemudian pulang kampung. Faktor penghamambat yang terjadi pada paralegal PRT adalah keterbatasan waktu, karena mereka bekerja sebagai PRT dan hanya mempunyai waktu luang satu hari dan kurangnya kesempatan untuk berkomunikasi dengan sesama PRT di lingkungan tinggalnya.

Upaya-upaya penyelesaian kasus oleh paralegal-paralegal seperti tersebut di atas, tidak begitu saja terjadi. Berbagai bentuk penguatan terhadap kapasitas paralegal terus dilakukan. Salah satunya dengan melakukan diskusi-diskusi bertemakan isu-isu aktual ataupun berdasarkan kebutuhan mereka, misalnya peraturan-peraturan yang dekat dengan mereka, seperti Perda-Perda terkait dengan Operasi Yustisi, penertiban umum, poligami, UU Perkawinan, KUHP-KUHPer terkait dengan kejahatan dalam perkawinan, perselingkuhan, dll yang banyak terjadi di masyarakat.

Audiensi ke Aparat Penegak Hukum
Upaya penguatan lain bagi paralegal adalah membuka jaringan paralegal dengan aparat penegak hukum dalam hal ini polisi, serta kepada lembaga-lembaga pendamping lainnya. Hal ini dilakukan karena selama ini peran pendamping korban belum begitu diterima oleh aparat penegak hukum, padahal sudah diatur dalam UU PKDRT. Oleh karenanya, beberapa waktu yang lalu telah dilakukan audiensi ke RPK guna membangun kerjasama yang baik dalam penanganan kasus dengan perempuan sebagai korban, dan juga untuk memperkenalkan adanya paralegal atau pendamping korban dari LBH APIK Jakarta. Audiensi dilakukan ke Polres Jakarta Utara pada tanggal 18 September 2006, Polres Bekasi pada tanggal 15 September 2006, dan Polres Tangerang pada 25 september 2006. Adapun alasan pemilihan lokasi adalah karena kepolisan bersangkutan masih kurang resposif terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan dan pertimbangan karena paralegal kebanyakan tinggal diwilayah hukum kepolisian tersebut. Audiensi tersebut diikuti oleh perwakilan paralegal beberapa komunitas dan dari LBH APIK Jakarta sendiri. Selain perkenalan dan sosialisasi keberadaan paralegal, forum tersebut juga bermaksud mengajak RPK untuk dapat bekerjasama, baik dengan paralegal maupun dengan LBH APIK Jakarta sendiri dalam melakukan penangan serta pendampingan kasus. Ternyata, audiensi yang dilakukan ini mendapatkan tanggapan yang sangat positif, baik mengenai keberadaan paralegal sendiri, maupun untuk melakukan kerjasama, meskipun hal ini tidak secara tertulis disepakati. Salah satunya dengan kesediaan polisi/RPK untuk memberikan kontak person yang dapat dihubungi oleh paralegal maupun LBH APIK Jakarta terkait dengan kasus kekerasan terhadap perempuan.

Buruh perempuan
Sementara itu, fenomena yang terjadi di komunitas buruh berdasarkan data 3 media (Kompas, Warta Kota dan Pos Kota) dalam kurun waktu tahun 2006 terjadi 9 kasus perburuhan yang terjadi di wilayah Cikarang, Depok dan Jakarta. Kurangnya kesejahteraan buruh menjadi persoalan besar bagi buruh, seperti yang terjadi di Jakarta Timur di mana sejumlah buruh menuntut pesangon. Pemberian gaji yang tidak memenuhi standar UMR juga masih terjadi di tahun 2006, buruh melakukan aksi karena belum ada sikap tegas dari pemerintah apabila pengusaha melanggar ketentuan upah yang telah ditetapkan melalui UU. Kesejahteraan pekerja belum terjamin terjadi PHK besar-besaran dilakukan oleh perusahaan ada 14 kasus PHK (Kompas, Warta Kota dan Pos Kota). PHK dilakukan tidak hanya disebabkan oleh kondisi perusahaan pailit, namun juga karena aktifitas buruh dalam serikat pekerja dianggap oleh perusahaan, terlalu kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang perusahaan keluarkan sehingga kondisi tersebut dirasa akan mempengaruhi pekerja lain dan dianggap mengancam stabilitas perusahaan. Misal di Cikarang sebanyak 1.800 buruh PT Sanyo melakukan mogok menuntut pihak perusahaan mencabut skorsing terhadap 3 orang pengurus SPSI PT. Sanyo. Diperkirakan jumlah penganguran akan terus meningkat apalagi setelah dua pabrik sepatu memPHK karyawan-karyawannya. PT. Doeng Joe sebanyak 6.000 karyawan dan PT. Spotec sekitar 4.500 karyawan. Pesoalan ini menjadi semakin sulit karena lowongan pekerjaan yang tersedia semakin sedikit, sementara persaingan pencari kerja semakin ketat.

Perempuan dan Anak yang Dilacurkan (PYLA/AYLA)
Untuk komunitas perempuan dan anak yang dilacurkan, eksploitasi seksual dan kekerasan fisik/psikis masih saja mereka alami. Bahkan, untuk tahun 2006 ini, ancaman penertiban yang dilegitimasi melalui Perda 11/1988 dan Perda 4/2004 mengkondisikan PYLA hidup dalam keterbatasan akses. Belum lagi sikap aparat kepolisian dan Satpol PP yang sering bertindak tidak manusiawi dan cenderung melecehkan serta melakukan kekerasan terhadap mereka.
D. PENGGALANGAN KEKUATAN untuk PERUBAHAN KEBIJAKAN

Guna lebih mendesakkan kepentingan penegakan dan perlindungan hak-hak asasi perempuan, LBH APIK Jakarta juga mengupayakan terjadi perubahan di tingkat substansi peraturan perundang-undangan melalui serangkaian kegiatan advokasi. Baik itu peraturan perundang-undangan di tingkat nasional maupun local. Di tahun 2006 ini, ada beberapa peraturan perundang-undangan yang coba didesakkan LBH APIK Jakarta bersama jaringan JKP3 Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan) .

Selama tahun 2006 terdapat beberapa RUU yang menjadi agenda LBH-APIK bersama dengan JKP3 yang dibahas di DPR yang substansinya terkait dengan masalah perempuan, diantaranya adalah RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (APP), RUU Kewarganegaraan, RUU Perlindungan saksi dan korban (PSK), RUU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO), RUU Anti Diskriminasi, Revisi UU Kesehatan dan revisi KUHP. Dari beberapa RUU tersebut ada 3 RUU yang berhasil disahkan oleh DPR sepanjang tahun 2006 yaitu UU Kewarganegaraan, UU Pelidungan saksi dan korban, dan UU Adminduk. Sedangkan sisanya masih dalam pembahasan dan menjadi program legislative nasional pada tahun 2007.

UU Kewarganegaraan

Mencermati UU yang telah disahkan oleh DPR terlihat komitmen dan kemajuan dalam mengakomodir kepentingan perempuan dan anak. Seperti halnya UU Kewarganegaraan No. 12 tahun 2006 yang disahkan dalam rapat paripurna pada tanggal 11 Juli 2006 telah mengakomodasi hak anak untuk mendapatkan kewarganegaraan ganda terbatas sampai umur 18 tahun lalu diberi waktu selama 3 tahun untuk memilih kewarganegaraan tetap (pasal 6). Sehingga kewarganegaraan anak tidak otomatis mengikuti bapak seperti UU Kewarganegaraan sebelumnya. Selain itu UU ini juga mengakui hak anak untuk mendapatkan status kewarganegaraan sekalipun anak tersebut lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia atau bahkan anak yang lahir di Indonesia namun tidak diketahui bapak dan ibunya. Hal ini dapat mengakomodir kepentingan anak yang lahir dari seorang ibu yang merupakan korban kekerasan seksual.

Namun, seorang perempuan yang menikah dengan WNA meski memiliki hak untuk memilih kewarganegaraan, tetapi bila negara asal suami menghendaki istri ikut suami mengharuskan ia memilih antara warganegara suami atau negara asal nya yang tentu saja tidak mudah bagi perempuan. Hal yang sama tidak berlaku bagi lak-laki (masih tersisa masalah diskriminasi bagi perempuan).

UU Perlindungan Saksi dan Korban

Lahirnya UU No.13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban memberikan terobosan hukum baru di tingkat nasionall. UU ini memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban yang tidak terbatas pada tindak pidana tertentu tapi pada semua tindak pidana sesuai dengan keputusan lembaga perlindungan saksi dan korban (LPSK). Hal ini membuka peluang bagi saksi dan korban kekerasan terhadap perempuan yang selama ini seringkali mendapatkan intimidasi dan teror untuk mendapatkan perlindungan. LBH APIK Jakarta mencatat setidaknya terdapat 10 kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani selama tahun 2006 mengalami intimidasi dan teror, maka dengan lahirnya UU PSK ini diharapkan mampu memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan terhadap perempuan.

Namun demikian masih ada kekurangan dari UU ini yaitu pelapor (pemberi informasi) tidak mendapatkan perlindungan seperti halnya saksi dan korban karena saksi pelapor tidak diakui dalam definsi saksi. Pelapor hanya berhak untuk dilindungi dari kemungkinan dituntut secara hukum (pasal 10 ayat (1)). Padahal peran pelapor sangat penting sebagai tonggak pertama dalam pengungkapan tindak pidana. Selain itu pemberian bantuan medis dan rehabilitasi psiko-sosial bagi korban hanya diberikan pada korban kasus pelanggaran HAM berat saja sehingga korban tindak pidana yang lain seperti KdRT atau kekerasan terhadap perempuan lainnya tidak bisa mendapatkan bantuan medis dan rehabilitasi psiko-sosial. Sedangkan disisi lain definisi pelanggaran HAM berat tidak dijelaskan dalam ketentuan umum dan penjelasan.

Selain itu, keputusan pemberian perlindungan bagi saksi dan korban diputuskan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, (LPSK) dimana LPSK harus dibentuk dalam jangka waktu satu tahun sejak UU PSK disahkan dalam rapat paripurna DPR pada tanggal 18 Juli 2006. Namun sampai saat ini proses pembentukan lembaga tersebut belum berjalan sehingga realisasi dari amanat UU PSK terancam tidak tepat waktu. Hal ini tentu saja akan menghambat proses perlindungan saksi dan korban sedangkan semakin banyak saksi dan korban yang membutuhkan perlindungan yang komprehensif dari pemerintah.

UU Adminduk

Sedangkan UU Administrasi dan Kependudukan, dari segi proses pembahasan, sangat tidak partisipatif dan dilangsungkan secara tertutup, sehingga menyalahi tata cara pembuatan peraturan perundang-undangan (UU No.10/2004 tentang Tata Cara Pembuatan Peraturan Peraundang-Undangan). Padahal UU ini menyangkut kepentingan rakyat banyak terkait dengan system administrasi kependudukan nasional. Akibat dari proses yang tidak partisipatif tersebut, maka banyak pasal yang masih diskriminatif terhadap kelompok-kelompok masyarakat tertentu, seperti kelompok kepercayaan. Selain itu, untuk pencatatan akta kelahiran anak, hanya diberi waktu 60 hari dan jika terlambat dikenai denda Rp.1.000.000,-. Hal ini dianggap terlalu singkat untuk kondisi sosial masyarakat Indonesia yang miskin dan kondisi geografis yang luas dan sulit dijangkau informasi.

RUU APP

Pembahasan RUU APP masih di tingkat Tim Perumus Pansus. RUU APP sangat berpotensi untuk mengkriminalkan perempuan karena ekspresinya. RUU ini sangat bertentang dengan UU No. 7 / 1984 tentang pengesahan CEDAW khususnya pasal 2 dan UU No. 39/1999 tentang HAM. Definisi yang tidak jelas karena mencampuradukkan antara erotika, eksploitasi seks dan kecabulan padahal ketiga kata kunci tersebut memiliki makna yang berbeda akan menyebabkan pengertian yang sangat luas dan tidak spesifik. Sehingga sangat dimungkinkan adanya salah tangkap dan beroperasinya polisi-polisi moral yang melakukan kekerasan dan pelanggaran HAM lainnya. RUU APP juga dipandang tidak menghormati keberagaman budaya dan agama yang ada di Indonesia serta bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah hidup bangsa. Tentu saja ini akan mengebiri keberagaman yang telah ada dan menjadi kekuatan serta kekayaan bangsa Indonesia. RUU ini juga tidak cukup memberikan solusi yang mengatur peredaran dan akses terhadap media pornografi sehingga gagal mencegah tindak kekerasan sebagai dampak dari peredaran tersebut, khususnya terhadap anak-anak.

RUU Peradilan Militer

Sementara RUU Peradilan militer saat ini pembahasannya masih tertunda di PANSUS. Pemerintah tidak sepakat dengan adanya klausul bahwa tindak pidana umum yang dilakukan oleh anggota TNI yang menurut RUU ini bisa diadili di pengadilan umum. Sedangkan DPR bersikukuh untuk menyetujui klausul tersebut. LBH APIK Jakarta memandang bahwa dengan adanya peluang mengadili anggota TNI yang terlibat dalam kasus pidana umum akan membuka kesempatan untuk mengadili anggota TNI yang melakukan kekerasan terhadap perempuan. Selama ini kasus yang dipantau oleh LBH APIK Jakarta menggambarkan bila terjadi kasus kekerasan terhadap perempuan (perkosaan, KdRT, pencabulan dll) maka pelaku (anggota TNI) akan mendapatkan sanksi karena melakukan tindakan indisipliner, tidak bermoral atau merusak citra korps, bukan karena tindak pidana itu sendiri dan pelanggaran terhadap kemanusiaan sehingga sanksi pidananya pun maksimal hanya sanksi administrative (dicopot dari jabatan). Maka LBH APIK Jakarta sangat mendukung untuk klausul tersebut tetap dipertahankan.

RUU PTPPO

Selain itu RUU PTPPO masih dibahas di Panja. Ada beberapa kemajuan dalam pembahasan diman definisi perdagangan orang dan definisi anak telah merujuk pada protocol pelermo 2000 dan kovensi hak anak. Hak korban dan perlindungan saksi dan korban diatur dalam bab tersendiri, sehingga meskipun UU PSK telah disahkan namun hak korban yang tidak dikomodir dalam UU PSK dapat diperoleh berdasarkan UU PTPPO. Alat bukti yang digunakan cukup kesaksian korban saja sebagai alat bukti utama. Adanya hukuman minimal yang diperberat menjadi 4 tahun dalam semua tindak pidana perdagangan orang. Namun demikian, masih ada beberapa kekurangan yang belum masuk dalam RUU PTPPO yaitu tentang tindak pidana jeratan hutang, hak korban utnuk terbebas dari tuntutan tindak pidana dimana dia sebenarnya dalam posisi korban trafiking, hak korban yang berada di luar negeri untuk menentukan apa yang dia inginkan, serta definisi eksploitasi seksual yang dikeluarkan dari draft RUU. Padahal Definisi eksploitasi seksual sangat penting untuk dicantumkan karena berdasarkan kasus trafiking yang dimonitoring oleh LBH APIK Jakarta melalui analisa berita (kompas, Wrata Kota, Pos Kota ) tahun 2006, terdapat sebanyak 36 kasus Trafficking, 25 diantaranya dipekerjakan sebagai PSK, dan sisanya sebanyak 11 kasus merupakan trafficking untuk keperluan adopsi anak.. Oleh karena agar RUU ini nantinya bisa mencakup modus yang sering terjadi dan tidak ada penafsiran yang salah maka definisi eksploitasi seksual haruslah dicantumkan sehingga tindak pidana trafiking sehingga benar-benar bisa diberantas. Begitupun dengan modus jeratan hutang yang banyak terjadi di Indonesia.

RUU KUHP

RUU ini juga menganut politik kodifikasi sehingga semua tindak pidana yang telah dan akan diatur dalam undang-undang khusus dimasukkan ke dalamnya, misalnya saja pornografi dan pornaksi, perdagangan orang dan KdRT. Dimasukkannya KdRT dan trafiking ke dalam KUHP tidak akan bisa mengakomodir karakter khas kekerasan terhadap perempuan, bahkan bila KUHAP juga direvisi sekalipun. Malah KdRT yang dikofikasi tersebut mengalami degradasi dari pada UU PKdRT karena tidak mengakomodir kekerasan ekonomi (penelantaran). Selain itu RUU KUHP ini juga berpotensi overcriminalization dengan adanya perluasan delik perzinahan, pelacuran dan pornoaksi karena delik-delik tersebut tidak menimbulkan korban (victimless) justru menimbulkan stigmatisasi dan kriminalisasi pada perempuan sebagai kelompok yang rentan dan potensial sebagai target penerapan. Adanya pasal-pasal baru tersebut di tengarai sebagai payung nasional dari perda-perda ’syariah’ yang merebak di berbagai daerah yang nyata-nyata baik substansi maupun penerapnnya telah melanggah HAM terutama hak-hak sipil warganegara.

Revisi PP 10/1983 dan amandemen UU Perkawinan

Pada akhir 2006 terdapat fenomena penting dengan kembali mengemukanya isu poligami. Hal ini kemudian direspon oleh presiden dengan akan direvisinya PP No.10 /1983 tentang tata cara poligami yang sebelumnya hanya untuk PNS, akan diperluas cakupannya pada pejabat negara dan pejabat pemerintah. Respon presiden ini sangatlah positif namun hendaknya revisi tersbut tidak hanya pada PP tapi juga pada UU Perkawainan karena PP tersebut berdasarkan pada UU Perkawinan sehingga akan percuma saja bila PPnya dirubah namun UU tetap sama. LBH-APIK sejak awal telah berupaya mengadvokasikan amandemen UUP dan pada setiap momen seperti pada hari perempuan yang jatuh pada tanggal 22 Desember yang lalu, melakukan aksi bersama-sama dengan kelompok perempuan lainnya untuk menolak poligami dan mendukung upaya pemerintah untuk revisi PP dan secara luas amandemen UUP.

Kritisi Proses legislasi

Terdapat 2 sifat persidangan di DPR, yaitu terbuka dan tertutup untuk umum. Hal ini terkait dengan tata tertib DPR pada pasal 95 (1) yang berbunyi ”rapat paripurna, rapat paripurna luar biasa, rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat badan legislasi, rapat panitia khusus, rapat kerja, rapat dengar pendapat, dan rapat dengar pendapat umum pada dasarnya bersifat tertutup, kecuali rapat tersebut memutuskan bersifat terbuka”. Maka pembahasan akan terbuka atau tertutup sangat bergantung pada political will anggota DPR. Tata tertib ini menghambat akses masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya sehingga produk hukum yang dihasilkan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini terlihat saat pembahasan RUU PSK yang tertutup dan terkesan terburu-buru sehingga tidak maksimal dalam mengakomodir masukan-masukan dari kelompok masyarakat yang berkepentingan. Selain itu juga prosedur tetap mengenai pengaturan dan penyaluran delegasi masyarakat serta ketentuan umum tambahan yang diberlakukan Humas secretariat jenderal DPR-RI turut menghambat adanya hak masyarakat untuk memantau, berpendapat dan menyalurkan aspirasinya. Dalam proses legislasi juga masih terdapat anggota DPR yang tidak aspiratif dan resisten terhadap kehadiran masyarakat yang turut mengawal proses legislasi, meski pembahasan telah dinyatakan terbuka.

Paradigma pemerintah daerah dan kebijakan local terhadap hak azasi perempuan

Pasca otonomi daerah, pemerintahan daerah di Indonesia berlomba-lomba membuat peraturan daerah untuk mengatur daerah masing-masing. Semangat otonomi daerah ini kemudian memotivasi daerah untuk membuat peraturan daerah yang dianggap sesuai dnegan kearifan dan tradisi local daerahnya. Namun sayangnya semangat ini justru digunakan untuk membuat perda yang diskriminatif terhadap perempuan dan bertentangan dengan peraturan diatasnya, yaitu bertentangan dengan CEDAW dan UU HAM. Misalnya saja perda tangerang no. 8/2004 tentang pelarangan pelacuran dimana dalam perda tersebut dilegalkan adanya razia terhadap orang-orang yang dicurigai sebagai pelacur. Dalam prakteknya seringkali terjadi salah tangkap saat diadakan razia karena rumusan substansi perda yang hanya berdasar pada kecurigaan yang subjektif. Rumusan seolah netral padahal dampaknya menjadi diskriminatif karena sasarannya pada tubuh dan seksualitas perempuan. Kemudian ada pula SK Bupati Pandeglang yang mengintruksikan semua sekolah memisahkan kelas antara siswa perempuan dan laki-laki. SK ini mendapatkan penolakan di Pandeglang sendiri. Serta maraknya pembahasan perda-perda anti maksiat lainnya. Nampak jelas bahwa pemerintah daerah masih berparadigma patriarkhi dengan mengukuhkan stereotype-stereotype perempuan yang masih berlaku di masyarakat. Melegitimasi pandangan yang misoginis bahwa perempuan sumber godaan dan fitnah maka perempuan harus dibatasi ruang geraknya.


E. PENYEBARLUASAN INFORMASI UNTUK PERUBAHAN SISTEM HUKUM YANG ADIL BAGI PEREMPUAN

Dalam melakukan perubahan hukum, perlu juga dilakukan kegiatan-kegiatan pendukung seperti penelitian/kajian dan penyebaran informasi melalui berbagai media. Seperti tahun-tahun sebelumnya, divisi penelitian dan pengembangan selalu menyediakan kebutuhan akan informasi dan kajian baik untuk pengembangan internal lembaga maupun untuk kebutuhan advokasi. Beberapa kajian yang berhasil diselesaikan yang nantinya digunakan untuk mendukung kerja-kerja advokasi antara lain kajian perbandingan undang-undang anti perkosaan di beberapa Negara, pelecehan seksual di tempat kerja dengan lokus di beberapa wilayah Jakarta, dan penelitian besaran perkosaan di DKI Jakarta. Hasil kajian dan penelitian ini nantinya akan dijadikan bahan kertas posisi dan naskah akademis untuk usulan rancangan uu anti perkosaan di Indonesia. Kenapa hal ini dilakukan, karena setiap tahunnya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan maupun anak cenderung meningkat. Dan hal ini tidak diikuti dengan adanya peraturan khusus dan terkendala dengan keterbatasan aturan yang sudah ada, dalam hal ini KUHP maupun UU Perlindungan Anak. Selain itu, kajian terhadap bantuan hukum gender structural juga dilakukan untuk lebih memperjelas gerak dari LBH APIK Jakarta. Bahwa bantuan hukum yang diberikan kepada masyarakat khususnya perempuan adalah berdasarkan pada kasus kekerasan berbasis gender structural. Oleh karenanya, kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang selama ini didampingi oleh LBH APIK Jakarta diperuntukkan bagi perempuan miskin yang mempunyai keterbatasan ekonomi dan informasi. Selain itu, juga diperuntukkan bagi kasus kekerasan terhadap perempuan yang kompleks yang bisa dijadikan titik awal melakukan advokasi kebijakan.

Sedangkan untuk penyebaran informasi mengenai hak-hak perempuan di berbagai bidang kehidupan, di tahun 2006 ini, dilakukan melalui penerbitan lembar info tentang kovenan hak-hak sosial politik dan kovenan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) yang telah diratifikisi di akhir tahun 2005. Begitu pula dengan perkembangan informasi tentang beberapa kebijakan, diulas lebih mendalam di bulletin Suara APIK. Beberapa judul yakni trafiking dan kesehatan reproduksi menjadi tema Suara APIK di tahun 2006 lalu. Selain itu, penyebaran informasi terutama terkait dengan permasalahan perempuan dengan hukum atau perempuan dan perkawinan, dilakukan secara kerjasama dengan media lain seperti tabloid Wedding Plus dan harian IBU. Melalui rubrik-rubrik di media tersebut, perempuan-perempuan diharapkan mendapatkan informasi seputar hukum dan perkawinan yang mereka butuhkan. Berdasar evaluasi terhadap terbitan LBH APIK Jakarta yang dilakukan di tahun 2006 ini, memperlihatkan bahwa beberapa pembaca mendapatkan manfaat dari terbitan-terbitan LBH APIK Jakarta (lembar info, bulletin, dan website), baik untuk menyelesaikan permasalahan mereka sendiri ataupun permasalahan I keluarga, teman, ataupun tetangga. Hal ini membuktikan bahwa, ternyata informasi tentang hukum masih sangat terbatas dan banyak orang yang belum mengetahui tentang substansi hukum ataupun prosedur penyelesaian melalui jalur hukum. Sehingga, upaya penyebarluasan dan penyediaan informasi yang langsung dan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti menjadi suatu tuntutan, khususnya bagi LBH APIK Jakarta. Oleh karenanya, penyediaan perpustakaan dan website LBH APIK Jakarta mencoba menjawab kebutuhan masyarakat akan informasi mengenai perempuan dan hukum. Informasi yang diupayakan untuk terus diupdate menjadi semacam kebutuhan, meskipun masih banyak kekurangan baik dari segi kemampuan dan sumber daya manusia yang khusus menangani hal tersebut. Makanya gagasan akan adanya perpustakaan bersama dari beberapa lembaga perempuan menjadi salah satu mimpi yang coba diwujudkan LBH APIK Jakarta dengan terlibat aktif dalam jaringan tersebut.

F. CATATAN PENUTUP DAN REKOMENDASI

Dari uraian panjang lebar diatas, kami menyimpulkan bahwa kondisi penegakan demokrasi dan hak-hak asasi manusia secara umum masih memprihatinkan bahkan mengalami defisit serius khususnya lagi bagi kelompok-kelompok marjinal seperti rakyat miskin yang semakin bertambah dan juga kelompok perempuan yang dimiskinkan oleh struktur yang ada baik ekonomi politik sosial maupun budaya yang cendrung hanya menguntungkan kelompok-kelompok dominan/elit di masyarakat. Liberalisasi ekonomi di satu sisi dan pembatasan hak-hak sipil di sisi lain menjadi mainstream kebijakan di tingkat nasional dan khususnya di berbagai daerah pasca otonomi daerah yang terus digulirkan sampai saat ini. Ini semua telah memicu berbagai proses pemiskinan dan pelanggaran HAM di berbagai tempat. Elit penguasa tampak kehilangan arah untuk memprioritaskan masalah dan gemar mencari penyelesaian dengan mengatasnamakan “moralitas” yang ditafsirkan secara sempit guna mengatasi solusi berbagai persoalan. Masalah kemiskinan dan pengangguran di respon dengan membuat Perda kesusilaan dan penertiban dimana-mana yang menyasarkan kelompok perempuan dan kelompok masyarakat miskin sebagai potensial target. Kelompok perempuan yang selama ini telah berupaya memperjuangkan hak-haknya yang sama di hadapan hukum dengan laki-laki –sebagaimana dijamin dalam Konstitusi--, saat ini menghadapi ancaman serius di rana publik. Aktifitas mereka menjadi terbatas karena khawatir di razia hanya karena soal pakaian atau berada di jalan pada jam tertentu. Perempuan akhirnya kembali di domestikasi oleh negara.

Sementara itu di sisi lain, terobosan-terobosan hukum positif yang sudah lebih dahulu dibuat seperti CEDAW yang telah berusia 22 tahun sejak diratifikasi maupun UU PKDRT sejauh ini belum diimplementasikan dengan baik, dan lebih banyak dilanggar ketimbang dimanfaatkan untuk menegakkan hak-hak perempuan korban. Hal ini juga di pengaruhi oleh sikap aparat yang masih bias gender terhadap korban khususnya terkait dengan seksualitas perempuan. Seperti pandangan yang masih mencurigai perempuan sebagai korban perkosaan. Bahkan ironisnya ditemukan di tingkat RPK yang diawaki oleh tenaga-tenaga khusus yang harusnya sudah (?) diberi pelatihan mengenai gender dan seksualitas terkait dengan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan berbasis gender/seks.

Namun demikian ada kemajuan di tingkat nasional dengan lahirnya beberapa kebijakan baru seperti UU Kewarganegaraan dan UU Perlindungan Saksi dan Korban yang memberi payung perlindungan hukum yang lebih baik dari sebelumnya, kita perlu sambut dengan suka cita, meski harus diakui dengan jujur masih ada beberapa kelemahan dalam kedua aturan tersebut –mengingat prosesnya yang tidak sepenuhnya partisipatif (UU PSK)---yang harus segera di sempurnakan. Di tingkat proses legislasi sepanjang 2006 masih diwarnai dengan rendahnya akomodasi DPR terhadap keterlibatan masyarakat dalam setiap proses pembahasan dan tidak terpenuhinya prinsip partisipasi di dalam UU 10 tahun 1004 oleh mekanisme yang ada di DPR.


Berdasarkan catatan-catatan tersebut diatas, kami menyerukan kepada pihak-pihak terkait:
1. Polisi, Jaksa dan Hakim agar benar-benar menerapkan terobosan hukum yang sudah ada seperti CEDAW dan UU PKDRT untuk kepentingan akses keadilan bagi korban. Khususnya bagi Jaksa dan hakim agar lebih aktif menggali informasi dan pengalaman korban sehingga dapat memaksimalkan tuntutan dan memperberat hukuman bagi pelaku.
2. Melakukan upaya strategis dan sistematis untuk mengurangi berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan, dengan sesegera mungkin mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) terkait dengan telah disahkannya UU PKDRT pada tahun 2004 lalu.
3. Aparat hukum agar lebih memahami filosofi dan atau latar belakang adanya UU PKDRT sehingga tidak justru memojokkan perempuan yang diposisikan sebagai “pelaku” sementara sesungguhnya ia adalah korban KDRT .
4. Kepolisian agar mengadakan dan mengefektifkan layanan RPK di semua level kepolisian I untuk menjamin akses keadilan bagi perempuan, dan memasukkan pendidikan gender dan seksualitas serta pemahaman terhadap kekerasan berbasis gender/seksual di dalam kurikulum pendidikan kepolisian. Hal yang sama juga berlaku untuk Jaksa dan Hakim.
5. Pemerintah (Depdagri, Dephukham, Meneg PP) segera mungkin melakukan koordinasi dan konsolidasi untuk upaya penertiban Perda-perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan diatasnya, karena dinilai diskriminatif dan meminggirkan/mengancam hak-hak perempuan secara ekonomi maupun sosial serta mengkriminalkan perempuan/korban.
6. Pemerintah dan DPR agar segera mengamandemen UU Perkawinan dan Revisi PP 10/1983, mensahkan RUU PTPPO dengan substansi yang berpihak pada perlindungan korban, memperbaiki RUU KUHP dan RUU Kesehatan serta RUU lainnya yang masih diskriminatif.
7. Khususnya, Kementrian Pemberdayaan Perempuan, Komnas HAM serta Komnas Perempuan agar lebih aktif menjalankan fungsi dan perannya untuk mengedepankan hak-hak asasi perempuan, menghapus diskriminasi dan KTP serta mendorong implementasi CEDAW dan UU terkait serta gender mainstreaming dalam pengambilan keputusan/pembuat kebijakan di pemerintahan.
8. Anggota DPR dan DPRD serta pemerintah agar menerapkan secara sungguh-sungguh prinsip partisipasi dan keterlibatan masyarakat sebagai suatu keharusan dalam setiap proses pembuatan kebijakan yang ada.Juga menghapus mekanisme serta tata tertib dan aturan lainnya yang tidak sejalan / bertentangan dengan UU No. 10 Tahun 2004.
9. Tokoh agama/masyarakat agar memberi tauladan kepada masyarakat dan tidak malah mendorong umatnya melakukan praktek diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan; mengedepankan nilai-nilai ideal dan penafsiran-penafsiran agama yang setara /adil gender serta tidak misoginis terhadap perempuan.

Demikian Catatan dan Rekomendasi yang kami sampaikan agar dapat menjadi perhatian bagi pihak-pihak yang berwenang dan berkepentingan.


Jakarta, 18 Januari 2006


Direktur LBH-APIK Jakarta
Ratna Batara Munti, MS.i